Minggu, 21 September 2008

Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) Tahun 2008 ”

Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) Tahun 2008
”Awasi Pelaksanaan THR Bagi Buruh”
Kewajiban pengusaha untuk tetap memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi buruh sampai hari ini harus terus di awasi. Tunjangan Hari Raya (THR) adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.
Tida ada alasan bagi pengusaha untuk tidak memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) hal ini yang perlu dipahami oleh buiruh di Yogyakarta. Semakin dekatnya hari raya umat beragama (Idul Fitri 1429 H) menjadi penting bagi organisasi buruh di Yogyakarta untuk tetap mengawasi dan memantau pelaksanaan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pekerja/buruh.
Serikat buruh/pekerja di tiap perusahaan menjadi elemen paling penting untuk turut mengawasi jalannya pembayaran THR tersebut. Mejadi penting karena THR bukanlah hadiah dari pengusaha namun THR sesungguhnya adalah sisa upah pekerja/ buruh yang di simpan oleh pengusaha.
Menurut Pasal 2 Permen 04/1994, pengusaha wajib membayar pekerja yang sudah bekerja secara berturut-turut selama 3 bulan atau lebih. Peraturan ini tidak membedakan status pekerja, apakah karyawan tetap, karyawan kontrak, ataupun karyawan paruh waktu. Asal seorang pekerja telah bekerja selama 3 bulan berturut-turut, ia berhak atas THR. Menurut Permen 04/1994, THR harus dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamanaan si pekerja.
Tindak kecurangan yang sering di lakukan oleh pengusaha kepada buruh untuk tidak membayar THR adalah dengan alasan buruh mereka dalah buruh kontrak. Padahal dalam pelaksanaanya pemberian THR oleh pengusaha tidak boleh membedakan antra buruh kontrak, harian lepas, borongan, musiman dll selama mereka telah ikut bekerja lebih dari 3 bulan.
Selain itu juga kecurangan yang sering di lakukan oleh pengusaha adalah pembayaran THR hanya berdasarkan Upah Minimum Propinsi (UMP) padahal menurut Pasal 3 Ayat (2) Permen 04/1994, yang dimaksud upah adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap. Arinya jika upah buruh saat ini lebih besar dari UMP Yogyakarta yang sebesar 568.000,- maka yang menjadi dasar pemberikan THR adalah upah pokok di tambah tunjangan tetap yang di terima buruh/pekerja setiap bulan.
Pemerintah Jangan Tinggal Diam
Adanya regulasi tentang pelaksanaan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) oleh pengusaha kepada pekerja harus menjadi agenda serius bagi pemerintah daerah. Pengawasan dan penindakan tegas bagi pengusaha nakal yang tidak menjalankan Permen 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR). Menurut Permen 04/1994, setiap orang yang mempekerjakan orang lain disebut pengusaha dan wajib membayar THR. Peraturan perundang-undangan tidak mempersoalkan apakah seorang pengusaha itu perseorangan, memiliki perseroan terbatas, yayasan, atau perkumpulan. Pada intinya, setiap orang yang mempekerjakan orang lain dengan imbalan upah wajib membayar THR.
Oleh karena itu untuk mencegah adanya kecurangan dan untuk melindungi buruh dalam mendapatkan hak haknya kami dari Sekolah Buruh Yogyakarta (SBY) dan Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) mebuka Posko Pengaduan atas pelaksanaan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) bagi buruh tahun 2008 ini. Oleh karena itu kami menghimbau kepda semua pihak untuk:
1. Awasi pelaksanaan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR)
2. Kepada pengusaha untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan di laksanakan.
3. Kepada pemerintah daerah cq Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Se- Kabupaten/ Kota Yogyakarta untuk terlibat aktif dalam mengawasi pelaksanaan THR tahun 2008 dari berbagai kecurangan.
4. Laporkan jika ada indikasi kecurangan baik dalam penghitungan, waktu pembayaran dan jenis THR yang di berikan oleh pengusaha.
Posko Pengaduan Pelaksanaan Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2008 ini di buka selama 24 jam bertempat di Sekretariat Sekolah Buruh Yogyakarta
Alamat : JL. Sukonandi II No 9 A Semaki Kulon Umbol Harjo Yogyakarta
Telpon : 0274 6885603 ( M Yusuf, 0856 4321 2428 (Kirnadi)
Email: sekolahburuhyogyakarta@gmail.com


Yogyakarta, 5 September 2008

Muhamad Yusup
Ketua

Kamis, 08 Mei 2008

RESOLUSI MAY DAY

RESOLUSI MAY DAY
KEPELOPORAN PERGERAKAN BURUH NASIONAL
MENUJU PERSATUAN GERAKAN RAKYAT
LAWAN PENJAJAHAN GAYA BARU


SEBAGAI PENGANTAR
Buruh sebagai tulang punggung perekonomian suatu bangsa seharusnya mempunyai posisi sosial istimewa dalam sistem perekonomian suatu negara. Hari buruh sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei (May Day) telah menjadi peringatan atas radikalisasi dan pergolakan kebangkitan kaum buruh dalam memperjuangkan kehidupannya yang lebih layak. Tuntutan pengurangan jam kerja dari 12 jam menjadi 8 jam kerja menjadi sebuah catatan penting dalam sejarah, dimana radikalisasi gerakan buruh telah menghasilkan re-negosiasi hubungan kerja antara kelas buruh dengan kelas para pemodal yang berdampak secara internasional.
Kendati demikian, sebelumnya sejarah pernah mencatat, lahirnya revolusi industri yang mendorong terjadinya perubahan sistem produksi di masyarakat telah menggeser keberadaan tenaga kerja manusia tergantikan oleh tenaga mesin, baik dalam proses produksi di pabrik-pabrik, sektor transportasi ataupun sektor pertambangan. Maraknya sistem produksi massal (mass production) dengan menawarkan kualitas yang lebih tinggi dan harga yang relatif murah seakan-akan menjadi sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Dari sinilah kemudian, kapitalisme lahir dan terus berkembang menjadi suatu sistem penjajahan gaya baru yang tetap berwatak akumulatif, eksploitatif dan ekspansif. Saat ini, kapitalisme dengan panji-panji globalisasinya dan mesin intensif eksploitasinya, secara bersamaan melalui rekayasa peradaban muktahirnya mampu membius milyaran umat manusia terlena pasrah dan sekaligus terhisap secara tidak sadar. Dari serentetan isu mengenai pemerintahan bersih, ramah investasi asing, pertumbuhan ekonomi, anti terorisme, perubahan iklim, efisiensi produksi bahkan sampai dibuatnya landasan teori atas liberalisasi pasar tenaga kerja pada akhirnya itu semua merupakan selubung-selubung ideologi palsu yang terangkai indah dan terkesan rasional dalam regulasi-regulasi internasional yang dipaksakan atau disepakati secara sadar dan tidak sadar oleh negara-negara dunia ketiga. Dimana pada akhirnya negara-negara miskin ikut berperan dalam mobilisasi upeti besar-besaran dari rakyat pekerja kepada kemakmuran segelintir kaum pemodal internasional.
Untuk itu, Hari Buruh Sedunia (May Day) yang akan jatuh pada tanggal 1 Mei 2008 ini haruslah menjadi momentum besar dan ingatan kolektif rakyat pekerja Indonesia, untuk bersama-sama bahu membahu dalam satu persatuan gerakan semesta rakyat Indonesia guna meneguhkan kembali demokrasi rakyat yang sesungguhnya, yakni sistem demokrasi yang tidak hanya diukur secara prosedural semata-mata ataupun cukup diukur dengan kemunculan banyak partai. Akan tetapi sebuah sikap dan perbuatan yang mana kepentingan rakyat bisa terlaksanakan dan struktur penindasan rakyat terkuburkan oleh elemen-elemen politik masyarakat. Sehingga pengertian atas demokrasi bukan lagi diterjemahkan dalam konteks liberalisme vulgar (baca:ngawur) melainkan munculnya kritisisme dan radikalisasi di tingkatan massa. Maka kemudian menjadi penting bagi Serikat Buruh Indonesia (SBI) untuk merasionalisasi gagasan-gagasan pembetulan tersebut.
PENGEBIRIAN GERAKAN BURUH DI BALIK RESOLUSI BIPARTIT NASIONAL
Masifnya PHK massal, tingginya pengangguran, upah buruh rendah, naiknya harga sembako, pemberangusan serikat pekerja, praktek outsourching, kriminalisasi gerakan buruh bahkan sampai fenomena perpecahan serikat buruh telah menjadi bukti bahwasanya posisi tawar gerakan buruh masihlah lemah di hadapan negara dan pemodal. Keberadaan UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, secara tidak sadar telah mengkotak-kotakan dan membagi tingkatan organisasi buruh mulai dari tingkatan pabrik / perusahaan hingga lokal sampai skala nasional. Belum lagi, penerapan atas UU Otonomi Daerah sebagai instrumen hukum negara telah membagi-bagi struktur kekuasaan menjadi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kondisi ini secara otomatis berakibat pada pola perjuangan dan solidaritas serikat buruh dalam memperjuangkan nilai upah yang layak sering terbatasi dengan batas-batas kewilayahan atau propinsi, sehingga berdampak juga pada pengkotak-kotakan isu perburuhan yang akan diusung.
Transisi demokrasi, paska reformasi 1998 yang seharusnya mendorong terjadinya perubahan cara produksi yang berpihak kepada masyarakatnya ternyata hanya merubah model kekuasaan tirani ala Soeharto berubah menjadi model kekuasaan oligarki dan anti rakyat serta tetap tunduk pada kepentingan kapitalisme internasional. Dan kini, bentuk kekuasaan oligarki itu merasuk ke dalam tubuh organisasi serikat-serikat buruh plat kuning yang mendukung kebijakan pemerintah dan pemodal guna menekan radikalisasi gerakan buruh itu sendiri.
Gemuruh kemenangan gerakan buruh dalam menghalau rencana pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan No.13, telah memaksa negara untuk menyerahkan proses ini ke dalam Forum Tripartit Nasional (Kesepakatan Pemerintah-Pengusaha-Buruh). Namun konfederasi buruh nasional yang tergabung dalam Tripartit Nasional sampai saat ini hanya sekedar digunakan sebagai representasi gerakan buruh dalam mendukung sekian kebijakan negara yang menindas. Praktek deradikalisasi (baca:pelemahan) dan deideologisasi (baca:pembodohan) gerakan buruh yang dilakukan negara bisa kita lihat dari dukungannya terhadap perumusan Resolusi Bipartit Nasional yang digagas oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia/Apindo dengan konfederasi plat kuning, KSBSI (Rekson Silaban) dan KSPI (Thamrin Mosi) pada Munas Apindo ke-VIII, di Hotel The Sultan, di Jakarta, Kamis (27/3/2008) yang lalu. Kesepakatan Bipartit Nasional tersebut tidak ubahnya sebuah rekayasa sosial dimana seolah-olah gerakan buruh bersama para pengusaha dapat bergandengan tangan menyambut proses liberalisasi modal asing dan stabilitas perekonomian di Indonesia. Hal ini setidaknya bisa terlihat dari pendapat Sofyan Wanandi selaku Ketua Apindo, yang mengutarakan beberapa hal sebagai berikut:
Adanya praktek-praktek Suhartois Orde Baru dengan stigmatisasi (baca: pengecapan) radikalisasi gerakan buruh ala sebagai gerakan komunisme karena terdoktrin ajaran Karl Marx. Pendapat Sofyan Wanandi meyakini perjuangan kelas kaum buruh melawan kelas pemodal sesungguhnya bisa dihindari dengan jalan dibentuknya wadah komunikasi bersama antara pengusaha dan gerakan buruh itu sendiri.
Padahal, serikat buruh tanpa harus memahami terlebih dahulu tentang ajaran Karl Marx tentang perjuangan kelas kelas buruh sekalipun, perjuangan gerakan buruh untuk memperjuangkan hak-haknya niscaya tetap akan terjadi. Sebab, alasan mendasar perjuangan itu sesungguhnya sendiri dilandasi karena kondisi kerja yang tidak memanusiakan buruh.
Pembentukan Bipartit Nasional yang akan diperluas pelembagaannya sampai ke daerah-daerah yang ditujukan guna menyelesaikan problem-problem hubungan industrial antara pengusaha dan buruh serta demi menjaga stabilitas politik dan iklim investasi nasional, mengakibatkan radikalisasi dan aksi-aksi gerakan buruh harus segera diminimalisir.
Padahal setiap kali kemunculan adanya gemuruh radikalisasi gerakan buruh di Indonesia selalu akibat REAKSI dari kebijakan pengusaha dan negara yang menindas. Singkatnya, dalam menjaga persatuan gerakan dan solidaritas kaum buruh Indonesia, semua kekuatan buruh harus selalu meningkatkan kesiapsiagaan massa dan tidak terprovokasi dengan sekian manuver-manuver yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang anti perjuangan buruh serta waspadai watak-watak oligarki yang merasuk ke dalam badan-badan kekuasaan negara juga telah merasuki konfederasi-konfederasi buruh kepala batu alias konfederasi plat kuning.


KEMANAKAH GERAKAN BURUH HARUS MELANGKAH

Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Presiden RI I Bung Karno, bahwa ” Buruh adalah anak kandung dari kapitalisme...”, maka menjadi benar adanya berbicara struktur penindasan buruh pada hari ini, mau tidak mau kita juga harus berbicara mengenai perkembangan kapitalisme itu sendiri dan peralihannya di Indonesia. Dimana, pada hari ini instrumen kapitalisme telah menjelma menuju tahapan tertinggi menjadi neo-kolonialisme imperialisme (baca: penjajahan gaya baru) yang mengusung keniscayaan globalisasi (pasar bebas) yang tidak lain merupakan penjelmaan dari modifikasi praktek-praktek penjajahan ala Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di masa lampau.
Fenomena kapitalisme birokrasi seperti yang pernah dilakukan oleh kaum birokrasi feodal di jaman dulu, kini juga menyuburkan praktek-praktek rente (baca:pungutan liar) yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat keamanan negara. Sekiranya hal ini yang menyebabkan terhambatnya transformasi kapital di negri ini. Sehingga desain pembangunan perekonomian nasional diserahkan begitu saja dan tunduk kepada resep-resep lembaga ekonomi kapitalisme nternasional (baca: Bank Dunia, IMF, WTO, MNC-TNC) dan negara-negara maju. Pada akhirnya, konsepsi “ Pembangunan Indonesia” berubah menjadi “Pembangunan di Indonesia”, serta kondisi tersebut mensyaratkan keadaan buruh kita pada kondisi minimum alias upah buruh murah. Artinya, sistem upah buruh di Indonesia tidak pernah didasarkan pada kebutuhan primer sekunder buruh tetapi dari sisa atas banyaknya nilai lebih yang dicuri kapitalis yang kemudian dirente oleh militer dan birokrasi negara yang berwatak oligarkis dan komparador (baca:pengkhianat). Belum lagi, praktek-praktek relokasi industri negara maju ke negara-negara dunia ketiga (baca: Indonesia) berpotensi terjadinya capital flight (pemindahan investasi modal) ke luar negeri yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Tentunya hal ini menyebabkan posisi tawar buruh semakin lemah di hadapan pemodal dan sekali lagi, hal ini menjadi bukti ketidakberdayaan negara melindungi warga negaranya sendiri.
Singkatnya, tidak akan pernah ada gerakan buruh yang kuat tanpa bangunan kapital nasional yang kuat. Namun, ini bukan berarti bahwa gerakan buruh harus selalu mengutamakan kepentingan pengusaha terlebih dahulu. Posisi buruh yang selalu dianggap sebagai variabel dari kapital produksi pengusaha adalah pendapat yang selalu dipakai oleh pengusaha hari ini. Buruh bukanlah komoditi, buruh bukanlah sapi perahan. Seharusnya, buruh memliki posisi yang sejajar dengan pengusaha dalam hubungan industri. Sebab buruh juga telah memiliki investasi (baca: modal) yang ditanamkan di pabrik, yakni tenaga keringat buruh itu sendiri. Maka dari logika variabel kapital, buruh harus didorong menjadi kapital konstan yang memiliki kesejajaran dalam hubungan industrial. Serta perebutan dan ambil alih pabrik menjadi keniscayaan ketika pengusaha sudah tidak memperlakukan para pekerjanya sebagaimana layaknya manusi yang bermartabat. Untuk itu, kepada seluruh barisan konfederasi, federasi dan serikat buruh di Indonesia, bersama-sama bahu membahu untuk :
Mendorong dan meningkatkan pola perjuangan ekonomi (baca: normatif) serikat buruh menjadi perjuangan politik perburuhan. Ini menjadi penting sebagai jawaban atas keterjebakan serikat buruh dalam perjuangan hak normatif menuju perang posisi secara politik dan gerakan terhadap kebijakan negara dan pemodal yang menindas.
Menghilangkan tradisi ke-serikat-an buruh dalam perjuangan gerakan proletariat nasional (:gerakan rakyat pekerja). Sebab, pendekatan sektoralisme dalam sebuah pola perjuangan bersama rakyat harus segera dilampui. Sebab posisi gerakan buruh harus memposisikan sebagai barisan pelopor perjuangan kerakyatan.
Tetap menjaga, mempertahankan dan memperluas konsolidasi antar gerakan rakyat pekerja seluas-luasnya. Ini bertujuan untuk dapat merapatkan seluruh kekuatan gerakan buruh di semua pelosok daerah republik ini.

UU PENANAMAN MODAL 25/2007
MENGANCAM INDUSTRIALISASI NASIONAL & KEDAULATAN RAKYAT

Dulu di era Orde baru, Suharto membuat payung hukum liberalisasi pertama kali di Indonesia dengan memberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang kemudian disusul dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Namun hari ini kedua UU tersebut sudah diganti kedudukannya dengan disahkannya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hal ini mensiratkan bahwa developmentalisme ala Orde baru masih berlanjut hingga rezim hari ini. UU Penanaman Modal yang baru saja disahkan ini sesungguhnya masih merupakan salah satu bagian dari isi paket perbaikan kebijakan iklim investasi yang tertuang melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006. Dimana salah satu programnya adalah mengubah Undang-Undang (UU) Penanaman Modal agar memuat prinsip-prinsip dasar, seperti: perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan sama investor domestik dan asing (di luar Negative List), dan Dispute Settlement. Namun yang harus digarisbawahi, keberadaan Inpres No.3/2006 ini juga mensyaratkan adanya liberalisasi pasar tenaga kerja dengan merevisi UU Ketenagakerjaan yang beberapa tempo lalu berhasil dihadang melalui jalur ekstraparlementer massa aksi gerakan buruh Indonesia. Kendati UU Ketenagakerjaan pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, namun pasal-pasal mengenai outsourching (baca: perbudakan gaya baru) tetap diloloskan yang mana sampai detik ini telah menuai banyak kesengsaraan di pihak buruh sendiri.
Demi mendukung penguatan negara untuk menyelamatkan perekonomian dan industri nasional yang bebas dari ketergantungan Kapitalisme Internasional, Serikat Buruh Indonesia melalui Serikat Buruh Indonesia Jabodetabek (SBI-J) bersama-sama dengan organisasi rakyatnya lainnya yang tergabung dalam Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Lawan NeoKolonialisme Imperialisme), melakukan gugatan judicial review UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal Maret 2008 yang lalu. Menilai putusan MK dan melihat beberapa respon pengusaha terhadap putusan MK tersebut, dapat disimpulkan beberapa sikap sebagai berikut:
Keputusan MK untuk mengabulkan sebagian tuntutan penggugat, Pasal 22 ayat 1, 2 dan 4 mengenai pemberian izin Hak Guna Usaha, menegaskan bahwa terkesan MK menghindari isu-isu perburuhan yang juga dimuat dalam beberapa pasal UU Penanaman Modal tersebut. Ini berarti, keberadaan UU ini sebagai blue print industri nasional serta investasi nasional telah menjadi legitimasi hukum untuk menggadaikan kedaulatan rakyat atas tanah, air, udara, pangan, mineral, tambang serta harga diri republik ini. Untuk itu, seluruh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif negara serta kaum terdidik yang terlibat dalam penyusunan UU ini harus bertanggung jawab atas bahaya akan dampak bencana nasional ini.
Sesuai dengan dissenting opinion dalam putusan MK tersebut dapat terlihat bahwasanya kebijakan dan regulasi nasional yang dibuat oleh pemerintah terkadang tidak sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 dan acapkali lebih bersifat liberal bila dibandingkan dengan turunan regulasi-regulasi internasional yang dibuat oleh lembaga ekonomi liberal.
Sebab, seringkali paradigma ekonomi nasional yang digunakan sering terjebak dalam doktrin liberalisme dan free-market economy yang sempurna, yang sesungguhnya telah sejak awal disadari ketidakbenarannya. Perlakuan yang sama antara investor asing dengan investor dalam negeri dalam keleluasaan dan fasilitas penanaman modal di Indonesia justru lebih liberal daripada apa yang dilakukan oleh negara-negara maju itu sendiri. Sebab praktek negara-negara maju untuk perlakuan yang sama antara investor asing dan investor dalam negri dan bersandar atas klausul national treatment yang dikenal dalam Perjanjian Trims, Trade Related Investment Measures yang telah diatur oleh Organisasi Perdagangan Internasional / WTO, hanya diberlakukan sepanjang berkaitan dengan kegiatan perdagangan bebas. Artinya, sikap negara-negara maju dalam melibatkan investor asing di luar kegiatan perdagangan antar negara tetap memprioritaskan investor dalam negrinya sendiri.
UU ini masih melegitimasi terjadinya capital flight yang pada perjalanannya akan menimbulkan ketidakberdayaan negara kembali dalam menghadapi PHK massal. Belum lagi, praktek outsorching akan membuat posisi tawar buruh semakin terpuruk serta berpotensi atas meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan di negara ini.
Menilai respon terhadap putusan MK ini, muncul sikap kekecewaannya dan rasa pesimis di kalangan para pengusaha di Indonesia. Sebab, putusan MK yang mengabulkan dicabutnya Pasal 22 mengenai pemberian izin HGU, HGB dan Hak Pakai dianggap masih menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan investasi di Indonesia. Pendapat yang sempat dimuat dalam Harian Surat kabar Media Indonesia pada Senin, 7 April 2008 yang lalu, justru semakin menegaskan bahwasanya karakter “Borjuasi Nasional” (baca:pengusaha nasional) yang berpihak kepada rakyat dan kepentingan nasional di negri ini masih sangat minim.. Artinya, keberadaan banyak pengusaha nasional yang tumbuh hari ini masih saja menjadi kekuatan subordinasi dari kepentingan pengusaha dan investor asing.

Sekiranya mengutip pendapat berbeda Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menjadi benar adanya, “Jikalau bumi, air dan segala isinya dikuasai negara dalam konsepsi pemilikan kolektif bangsa untuk kesejahteraan seluruh rakyat, maka jika tujuan penyelenggaraan penanaman modal adalah untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan bantuan modal asing, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka menjadi tidak rasional dan logis jikalau rakyat Indonesia sebagai pemilik kolektif bumi, air dan segala kekayaannya, diperlakukan sama dalam fasilitas perolehan hak atas tanah dalam penanaman modal, karena hak-haknya sebagai warga negara memiliki korelasi dengan kewajibannya sebagai warga negara dengan segala aspek sosial, politik, kultural dan psikologis, yang tidak dimiliki warga negara asing. Negara Kesatuan Republik Indonesia justru didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah, yang tiap warga negara wajib membelanya, dan untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan, yang tiap warga negara Indonesia berhak atasnya.”

Untuk itu, jikalau memang definisi kepentingan nasional mensaratkan pembangunan ekonomi bangsa ini diselenggarakan untuk mendorong daya saing ekonomi nasional dalam menghadapi derasnya persaingan global, sudah seharusnya negara melakukan tahapan terdahulu untuk mempersiapkan investor dalam negeri untuk menjadi lebih matang dan tangguh. Dan perhatian terhadap pengakuan kedaulatan sosial politik kaum buruh dan kesejahteraan buruh yang pada akhirnya akan mendongkrak daya beli nasional menjadi suatu tindakan langsung yang harus dilakukan secara bersamaan. Sebab pengusaha nasional hari ini juga harus jujur dan berani bersikap kepada rezim hari ini, bahwa beban yang paling berat yang dipikul oleh pengusaha domestik bukanlah tuntutan buruh meminta upah yang layak, melainkan karena ekonomi biaya tinggi sebagai akibat dari panjangnya jalur birokrasi serta masih masifnya praktek-praktek rente atau pungutan liar yang terjadi selama proses produksi hingga distribusi.
Maka bangkitnya industri nasional yang mampu berjalan seiring dengan kokohnya gerakan rakyat pekerja akan tetap menghantarkan rakyat Indonesia untuk tetap menjadi tuan di negerinya sendiri dan berdaulat secara politik dan ekonomi sebagai pemilik sah kolektif bumi, air dan segenap kekayaan alamnya, yang telah dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. Sebab, ternyata praktek negara-negara maju di masa lalu juga mengenal affirmative action atau reverse discrimination, yang dilakukan untuk mengangkat posisi kelompok yang menjadi lemah karena perlakuan diskriminatif di masa lalu agar menjadi setara dan sederajat dengan kelompok yang sudah lebih dahulu maju, atau setidak-tidaknya siap untuk menghadapi keadaan agar tidak tertelan dalam persaingan bebas. Sehingga fenomena capital flight yang selalu menghantui kaum buruh Indonesia bisa langsung dijawab dengan penuntasan transformasi kapital nasional secara merata, transparan, akuntabilitas dan berkeadilan.
Untuk itu, menjadi jelas bahwasanya tidak ada gerakan buruh yang kuat tanpa kapital yang kuat. Dan dalam kondisi relasi hubungan ekonomi politik internasional yang timpang, tidak ada kapital yang kuat tanpa parlemen yang kuat. Sehingga peran negara sebagai kekuatan organik nasional harus mampu menjadikan tanah, air, mineral, pangan dan tambang didaulat dan diperuntukan oleh rakyat Indonesia sebagai langkah awal renegosiasi tatanan ekonomi neoliberal yang menindas dan menghisap.
MENUJU MAY DAY 2008
Keberadaan Pasal 27 UUD 1945 (Ayat 2) bahwa “...Tiap-tiap warga negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan...”, menegaskan bahwa konstitusi mengamanatkan kepada negara Indonesia untuk ANTI PENGANGGURAN dan ANTI KEMISKINAN bagi seluruh warga negara Indonesia.
Artinya, praktek outsourching seiring dengan diterapkannya kebijakan Labor Market Flexibility (LMF), tidak terlindunginya Tenaga Kerja Indonesia/TKI yang bekerja di luar negri, anjloknya daya beli masyarakat seiring dengan mahalnya harga sembako dan pengebirian kesejahteraan kaum buruh dengan digodoknya Rancangan Peraturan Pemerintahan tentang Pesangon bahkan sampai rencana RUU Jaminan Sosial Pekerja menjadi bukti bahwasanya sudah saatnya kaum buruh Indonesia harus bersatu dan mengkonsolidasikan diri dengan gerakan rakyat lainnya untuk mewujudkan demokrasi rakyat yang sejati. Yakni, demokrasi yang tidak meletakan rakyat hanya sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, melainkan munculnya kritisisme massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Sehingga pemaknaan atas demokrasi mampu menjamin perjuangan kelas tertindas dan merumuskan tuntutannya dalam formasi-formasi sosial organisasi-organisasi perjuangan rakyat melalui penguatan basis produktifnya berdasar perkembangan mode produksi kapital yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga pada tahap selanjutannya, jika ini berlangsung secara permanen dan konsisten maka gerakan rakyat akan merumuskan dengan sendirinya formasi politik sebagai manifestasi dari upaya mempersepsikan kekuasaan bagi kepentingannya sendiri guna berdaulat di tanah airnya sendiri.
Pada prinsipnya, pembacaan dan sikap SBI terhadap putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan judicial review UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 dan munculnya Resolusi Bipartit Nasional antara Apindo dan Konfederasi Plat Kuning sampai rencana pemerintah untuk merevisi UU Jamsostek serta berbagai program neoliberalisme dalam sektor perburuhan (liberalisasi modal internasional, privatisasi, outsourching, capital flight dan upah rendah), telah menjadi bukti bahwasanya rezim hari ini masih berstatus semi kolonial. Sebab sekian regulasi perburuhan dan kebijakan perekonomian nasional masih percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya pada kekuatan modal internasional dengan sistem penjajahan gaya barunya.
Untuk itu, guna mencerdasi sekian konflik perburuhan yang terjadi dan segala tipu muslihat para penindas, Serikat Buruh Indonesia menyerukan kepada seluruh kekuatan gerakan buruh dan gerakan rakyat di Indonesia untuk tetap MERAPATKAN BARISAN dan MENOLAK TUNDUK kepada cengkraman Kapitalisme Internasional serta MENUNTUT TANGGUNG JAWAB Negara, dengan cara:
Kritik Oto Kritik (baca: evaluasi menyeluruh yang membangun) bangunan organisasi dan visi misi perjuangan gerakan buruh sebagai gerakan pembetulan guna penataan dan penguatan internal masing-masing serikat buruh menuju peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) sebagai ingatan kolektif atas kepeloporan perjuangan gerakan buruh yang demokratis, independen dan revolusioner.
Melakukan konferensi-konferensi rakyat (baca: Rapat Akbar) di setiap serikat buruh, pabrik-pabrik, kerumunan massa/publik dan di setiap elemen masyarakat, sebagai counter hegemoni kebijakan negara yang menindas dan Resolusi Bipartit nasional yang menindas kaum buruh Indonesia
Tetap setia menggalang konsolidasi dan perjuangan ekstraparlementer gerakan buruh seluas-luasnya guna menuju persatuan perjuangan bersama dengan gerakan rakyat lainnya (petani, nelayan, pemuda, mahasiswa, PKL, kaum miskin perkotaan, perempuan, dll) dengan tetap bersandar atas minimum program melawan segala bentuk penghisapan dan penindasan Neo Kolonialisme dan Imperialisme/Nekolim.
Maka, sebagai sikap Kepeloporan Pergerakan Buruh Nasional Menuju Persatuan Gerakan Rakyat Lawan Penjajahan Gaya Baru, Serikat Buruh Indonesia bersama semesta rakyat Indonesia tetap menuntut :

Tolak Resolusi Bipartit Nasional
Upah Layak Bagi Buruh
Hapuskan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourching,
Jaminan Nasional Bagi Buruh Oleh Buruh dan Untuk Buruh
Cabut Peraturan Ketenagakerjaan Yang Menindas (UU Serikat Pekerja, UU Ketenagekerjaan, UU PPHI, RPP Pesangon dan RUU Jamsostek)
Cabut UU Penanaman Modal No.25/2007
Lapangan Kerja dan Tanah Untuk Rakyat
Turunkan Harga Sembako
Wujudkan Demokrasi Rakyat Yang Sejati atau KAMI GOLPUT Pemilu 2009



KUASA RAKYAT PEKERJA HANCURKAN PENJAJAHAN GAYA BARU !!!!
SELAMATKAN REPUBLIK SELAMATKAN RAKYAT !!!!

BERPISAH KITA BERJUANG, BERSATU KITA MEMUKUL
Jakarta, 8 April 2008



Dikeluarkan Oleh:

Adi Rusprianto
Sekjend Nasional
SERIKAT BURUH INDONESIA (SBI)

Jumat, 01 Februari 2008

UMP HANYA UNTUK PEKERJA 0 SAMPAI 1 TAHUN

Sesungguhnya Upah Minimum Propinsi (UMP) adalah jaring pengaman paling rendah bagi kehidupan para pekreja. Oleh karena itu UMP hanya berlaku bagi pekerja/buruh lajang dan untuk masa kerja 0 sampai 1 tahun, hal ini berlaku untuk pekera baik kontrak, harian lepas ataupun borongan. Oleh karena itu jika pekerja sudah bekerja lebih dari 1 tahun, maka upah yang di terima harusnya lebih dari UMP.

S
ulitnya mencari pekerjaan membuat seseorang terpaksa bekerja tidak sesuai dengan keahliannya atau pendidikannya. Bagi masyarakat kecil, yang terpenting adalah mendapatkan uang dengan cara halal. Seringkali cucuran keringatnya tak sebanding dengan upah yang didapat. Namun karena asap dapur harus mengepul, mereka pun harus bekerja, meski dengan upah dibawah kebutuhan hidup yang layak.
Untuk memperjuangkan upah yang layak bagi kehidupan pekerja dan keluarganya pekerja di DIY pada akhir tahun 2007 terus melakukan aksi tentang kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP). Hal ini di lakukan ribuan pekerja yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) yang dalam beberapa bulan yang lalu terus melakukan aksi menuntut kenaikan UMP tahun 2008. Dalam aksi tersebut ABY memuntut untuk adanya perubahan terhadap UMP hasil dari survey yang di lakukan Dewan Pengupahan DIY. Karena jelas bahwa UMP yang di tawarkan oleh Dewan Pengupahan tersebut jauh dari harapan para pekerja di Yogyakarta.
Tidak puas atas SK Gubernur DIJ No 171/2007 tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY 2008 sebesar Rp 586.000,- ratusan buruh yang tergabung dalam ABY berunjuk rasa. Mereka menuntut Gubernur dan Dewan Pengupahan DIY merevisi penetapan upah itu. Dalam menentukan upah minimum propinsi (UMP) harus megacu pada kebutuhan hidup layak (KHL). Hal ini sebagai jaring pengaman bagi semua pekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ternyata dalam kebijakan yang di ambil oleh pemerintah provinsi DIY sunguh kontraproduktif . Hal ini di buktikan dengan nilai UMP DIY yang hanya sebesar Rp 586.000.-.
Karena itu, Sekolah Buruh Yogyakarta (SBY) yang juga tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta meminta Dewan Pengupahan memberikan saran dan pertimbangan kepada gubernur tentang buruh dan juga dari sisi perusahaan. Dengan pertimbangan berbagai aspek, SBY mendesak agar UMP DIY 2008 segera ditetapkan dengan besaran 90% dari KHL atau 90% dari Rp 740.000,- yaitu sebesar Rp. 666.000,-.
Padahal penetapan UMP harus sesuai KHL sudah ada aturannya. Pasal 89 ayat 2 UU Ketenagakerjaan 13/2003 secara tegas menyebutkan, bahwa upah minimum diarahkan pada pencapaian kebutuhan hidup layak. UUD 1945 sebagai konstitusi RI pun menegaskan, pada Pasal 27 ayat 2 disebutkan, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Survei yang dilakukan Dewan Pengupahan DIY menemukan angka upah buruh semestinya sebesar Rp 656.070. Sedang dari survei ABY menemukan Rp 717.673,-. “yang kami sesalkan kenapa UMP tahun 2008 justru hanya Rp 586.000," ujar Sekjend ABY, Tigan Solin, SE, disela-sela kesibukannya. Sementara itu Moch. Yusuf, SH, selaku Ketua Sekolah Buruh Yogyakarta menyebutkan bahwa “ untuk UMP di Klaten dan Magelang saja sudah Rp. 607.000,- . Seharusnya Pemerintah mempertimbangkan upah minimum perbatasan, karena kota perbatasan nominal upah minimum rata-ratanya diatas Rp. 600.000,- , lalu kenapa UMP di Jogja masih dibawah Rp. 600.000,- ini jelas tidak berpihak pada wong cilik “ tandasnya.

Sebagian Pasal mengenai Pengupahan
dalam Undang-Undang RI No.13 Thn. 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a.upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Peran Serikat dalam perusahaan
Mengutip SK Gubernur tersebut, UMP merupakan upah bulanan terendah bagi para pekerja di DIY, yang terdiri upah pokok termasuk tunjangan tetap. UMP DIY berlaku bagi pekerja berstatus tetap, tidak tetap, harian lepas dan masa percobaan dan hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 tahun. Juga diatur bahwa bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih, maka peninjauan besarnya upah dilakukan melalui kesepakatan tertulis antara pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha secara Bipartit.
Maka, peran serikat dalam meningkatkan ataupun menaikkan UMP dengan melakukan negosiasi dengan pengusaha dapat di lakukan dengan baik. Serikat adalah alat untuk memperjuangkan hak-hak buruh/pekerja, mulai dari negosiasi tentang upah dan sampai tunjangan dan jaminan lainnya.
Paradigma upah rendah dijadikan landasan atas nama peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi di DIY. Alasan tersebut ternyata salah kaprah, karena tidak masuknya investor ke DIY lebih disebabkan oleh birokrasi dan adanya praktik ekonomi biaya tinggi. Karena pada dasarnya persoalan yang paling dikeluhkan pengusaha/investor terutama pada adanya: ketidakstabilan makro ekonomi; ketidakpastian kebijakan; korupsi pemerintah lokal dan pusat; pajak; biaya tinggi; tidak adanya kepastian hukum.
Padahal kalau pemerintah memiliki keberanian dalam menetapkan kebijakan pengupahan yang sesuai KHL, secara otomatis akan berdampak terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi riil di DIY. Karena dengan meningkatnya upah yang diterima oleh buruh akan mempengaruhi peningkatan daya beli masyarakat, dan seiring dengan daya beli masyarakat yang meningkat maka sektor-sektor ekonomi riil semakin bergairah. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan semakin mengalami peningkatan.[]

Minggu, 02 Desember 2007

Ada Undang-Undang dibalik ketertindasan kaum Buruh

Derasnya arus globalisasi yang terjadi saat ini telah menimbulkan berbagai masalah pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai aspek sosial, budaya, politik , ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan tekhnologi, juga aspek hukum. Pada seluruh aspek tersebut, hukum harus berubah seiring berubahnya pola tingkah laku dalam masyarakat, dan perubahan tersebut harus diatur oleh hukum agar tercipta ketertiban dan kedamaian.

Proses penciptaan hukum dapat kita lihat pada dua sisi besar yaitu pada sisi keadilan dan pada sisi kepentingan. Dari sisi keadilan dipandang dari segi manusia sebagai mahluk social dimana manusia tinggal bersama dengan manusia yang lain, saling berhubungan dan membangun relasi sehingga memunculkan kesepakatan-kesepakatan yang membutuhkan suatu aturan didalamnya, didalam hubungan ini pihak yang dominan/ lebih kuat akan berpotensi untuk melakukan tindak sewenag-wenang terhadap pihak yang lebuh lemah. Sehingga perlunya peraturan dalam hal ini adalah guna menciptakan ruang yang adil bagi para pihak demi ketertiban dalam masyarakat. Sedang dari sisi kepentingan, penciptaan hukum dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenar untuk terciptanya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentinan tertentu, maka dari sisi ini hukum difungsikan sebagai alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh, atau dalam KUHP soviet rusia hukum didefinisikan suatu sistem hubungan-hubungan social yang mengabdi pada kepentingan–kepentingan dari kelas yang berkuasa dan dengan demikian didukung oleh organisasi kekuasaannya.

Di dalam konsep globalisasi dan juga agenda rezim dagang regional dan internasional, muncul strategi labour market flexibilization yang merupakan respons pengusaha terhadap tekanan pasar yang semakin bebas dan kuat persaingannya. Menurut para pembela globalisasi kapitalis, strategi ini juga akan menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja lebih luas dengan menciptakan sistem kerja paruh-waktu (part time jobs), memudahkan negosiasi antara buruh dan perusahaan yang lebih fleksibel menghadapi tuntutan pasar, meningkatkan harkat buruh dengan membiarkan mereka bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak ketiga seperti serikat buruh, memungkinkan adanya kepuasan kerja dengan menyesuaikan jenis dan beban pekerjaan dengan kemampuan buruh.

Namun, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi kerja dan kehidupan buruh dalam globalisasi justru semakin merosot, terutama di negara Dunia Ketiga. Strategi labour market flexibility itu jelas menguntungkan perusahaan semata-mata dan berbagai “keuntungan” bagi buruh yang disebutkan di atas, tidak pernah terjadi. Salah satu akibat dari pelonggaran hubungan kerja, yang menempatkan buruh dan posisi tawar yang sangat rendah, adalah mudahnya perusahaan melakukan pemecatan. Menaker Theo Sambuaga sementara itu memperkirakan bahwa jumlah pengangguran pada akhir tahun 1998 akan mencapai sekitar 13,4 juta orang. (Kompas, 21/7/98).

Gelombang pemecatan massal itu menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat serius. hancurnya sistem kesejahteraan sosial, termasuk perlindungan dan keamanan kerja (job security). Buruh yang dipecat pun umumnya tidak bisa kembali ke desa, karena proses industrialisasi yang berlangsung sejak tahun 1970-an melakukan penjarahan terhadap tanah-tanah rakyat dan memperkecil kesempatan kerja di desa. Dengan kemampuan dan kapasitas yang terbatas buruh terpaksa menjual tenaga kerjanya di tempat lain. Mensos Justika Baharsjah misalnya menyebutkan sekitar 11.000 buruh perempuan yang dipecat semasa krisis terpaksa menjadi pekerja seks. (Pikiran Rakyat, 20 Juli 1998). Persaingan mencari kerja yang tinggi dan downsizing di semua sektor berakibat sulitnya mendapatkan pekerjaan kembali sebagai buruh industri.

Sementara itu kehidupan buruh yang masih dipertahankan juga tidak membaik. Justru kehidupan mereka semakin terancam karena strategi labour flexibilization dan mekanisme pasar bebas yang hanya melayani kepentingan perusahaan.

Kalau kita merujuk kepada sekian ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia terkait dengan perburuhan maka saat ini ada dua produk undang-undang yang mengatur tentang ketenaga kerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sebagai serangkaian ketentuan yang mengatur tentang tenaga kerja/ perburuhan mulai dari pra hubungan kerja hingga berakhirnya hubungan kerja. Dan Undang-Undang Nomo 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) sebagai hukum acara perburuhan yang menjadi acuan ketika muncul suatu perselisihan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan. Dan dilengkapi dengan sekian peraturan dibawahnya sebagai penjabaran dan petunjuk teknis dan pelaksanaanya.

“Kesejahteraan” adalah kunci dari suatu bangunan relasi kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, sebagai mana ditegaskan dalam UUD 1945 (Pasal 27 ayat 2) bahwa setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hukum kerja, ada ukuran atau batasan usia seorang tenaga kerja (manusia) itu dapat dikatakan produktif dan tidak produktif (Purna Kerja). Didalam UUK terdapat beberapa ketentuan yang justru kotradiktif dengan nilai dasar UUD 1945 , pengaturan tentang adanya pekerja waktu tertentu dan system kerja out shorsing pada substansinya adalah hendak menghilangkan tanggung jawab pengusaha atas jaminan penghidupan pekerja/buruh, karena dalam system tersebut pekerja/buruh tidak akan mendapatkan hak pesangon ataupun pensiun ketika hubungan kerjanya berakhir, dalam hal ini akan menjadi masalah ketika seorang pekerja/buruh tersebut sudat memasuki usia tidak produktif. Lantas siapa yang akan bertanggungjawab atas kelangsungan penghidupannya, hal ini akan terjawab ketika seorang pekerja/buruh dapat melakukan akumulasi atas hasil kerjanya (upah), akan tetapi dalam penetapan standarisasi atas upah minimum yang ditapkan dengan mengacu kepada Komponen Hidup Layak (KHL), dengan ukuran pekerja yang masih lajang maka dapat disimpulkan seorang pekerja hanya mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, lalu bagaimana ketika seorang pekerja tersebut memiliki tanggungan diluar dirinya (berkeluarga) “jawaban pastinya adalah buruh/pekerja tidak sejahtera”.

Dalam hal terjadi perselisihan acuan yang digunakan adalah UU PPHI, Penyelesaian perselisihan hubungan industrial menempatkan Pengadilan Hubungan Industrial menjadi bagian dari peradilan umum. Selain itu, digunakan pula hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 57 UU PPHI. Akan sangat memberatkan bagi pekerja/buruh dikarenakan keterbatasan pengetahuan tentang hukum acara perdata serta keterampilan buruh yang sangat minim dalam berproses di Pengadilan Hubungan Industrial sehingga membuat buruh tidak berdaya dalam menuntut haknya yang dilanggar oleh pengusaha.

Nasib Buruh Indonesia dalam Jeratan RPP


Tata ekonomi global membuat buruh di negara- negara dunia ketiga, seperti Indonesia nasibnya semakin terjepit. Fenomena PHK massal, sebagai akibat dari relokasi industri (capital flaigh), system outsorching adalah sebuah system yang memungkinkan bagi kapitalisme global untuk melakukan eksplotasi sumber- sumber daya alam dan manusia, pada akhirnya bermuara kepada kemiskinan, pengangguran dan kemelaratan.
Ivestasi dianggap sebagai solusi atas masalah krisis ekonomi, kemiskinan dan pengangguran, salah satu caranya yakni menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel (MLF), yang secara nyata dapat dimaknai bahwa persoalan buruh diserahkan pada mekanisme pasar, buruh disamakan dengan komoditi yang dapat diperjualbelikan dipasaran global.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pesangon yag saat ini sedang digodog dan menunggu disahkan sesungguhnya lebih sebagai upaya untuk melakukan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No 13 Tahun 2003, yang pada tahun 2006 gagal digoalkan oleh pemerintah pusat karena mendapat penentangan keras dari pihak buruh. Oleh karenanya kemunculan dua RPP ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam pensiasatan untuk merevisi UU No 13 tahun 2003 yang dianggap masih belum ramah investasi. walau mengorbankan rakyat. Meskipun kalau Negara mau jujur terhadap rakyat, sesungguhnya keengganan investasi masuk ke Indonesia, bukan lah disebabkan uang pensangonnya (Jaminan Sosial) terlalu tinggi atau upah buruh. Persoalan yang paling dikeluhkan pengusaha/ invetor selama ini sebenarnya terutama pada adanya: ketidak stabilan makro ekonomi; ketidak pastian kebijakan; korupsi pemerintah lokal dan pusat; pajak; biaya tinggi;
Tidak kalah pentingnya yang harus di cermati, adalah bahwa investasi tidak masuk juga disebabkan karena para investor lebih tertarik “berjudi” dalam perdagangan spekulatif dalam bentuk perdagangan saham dan mata uang dibandingkan menanamkan modalnya bagi investasi riil seperti permbangunan suatu industri, bangun pabrik atau investasi riil lainnya.

Keterlibatan buruh dalam pembahasan RPP hanyalah formalitas belaka, karena secara substansial buruh hanya dijadikan pelengkap dari seting besar pemerintah dengan kaum pemodal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa bahasan penting yang menjadi tujuan pokok dikeluarkanya RPP yang pada hakekatnya mengingkari prinsip dasar dalam penciptaan sebuat perundang-undangan itu sendiri.
Filosofis dari sebuah peraturan atau rancangan peraturan dapat dilihat Dari bagian konsiderans, baik dari pertimbangan faktanya maupun pertimbangan hukumnya. Tapi seringkali pertimbangan tersebut abstrak, sehingga untuk mencari dan menemukan ruh atau semangatnya dapat dilihat dari naskah akademisnya, akan tetapi hingga saat ini belum ada publikasi Naskah Akademik dari RPP tersebut. Seolah peraturan tersebut hanya diperuntukkan bagi perumus bukan kepada masyarakat atau pihak yang secara langsung menerima dampak (sasaran) dari pengaturan yang nantinya dimunculkan.
Secara filosofis RPP tentang perubahan uang pesangon dan perhitungan uang penghargaan masa kerja secara sekilas terlihat ada tiga hal yang ingin dicapai dengan RPP yaitu pertama, memberikan perlindungan pada pekerja/ buruh yang mengalami PHK. Kedua, ingin mengurangi kesenjangan jumlah uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja antara pekerja dengan upah tinggi dan yang lebih rendah. Ketiga, menciptakan iklim kondusif bagi dunia usaha.
Akan tetapi justru didalam isi RPP tidak cukup memberikan perlindungan terhadap Buruh yang di PHK karena yang terjadi adalah pembiasan perselisihan khususnya bagi buruh yang nilai pesangonya diatas lima kali PTKP karena disamping harus diselesaikan melalui lembaga penjamin juga sisanya harus diselesaikan dengan pihak pengusaha langsung. Adanya keinginan pembentuk RPP untuk mengurangi kesenjangan besaran pesangon dan penghargaan masa kerja antara pekerja yang berupah tinggi dan rendah bukan jawaban yang populis bagi buruh. Nampaknya pembentukan RPP ingin memaknai keadilan sebagai sebuah proses penyamarataan atau berbagi beban, padahal keadilan kumulatif adalah milik hakim, bukan miliknya pembuat peraturan perundangan. Justru yang seharusnya dikedepankan adalah keadilan distributive.
Secara politik ekonomi, pemerintah Indonesia hingga saat ini menyediakan dirinya menjadi agen untuk meluluskan kepentingan kaum modal yang telah dan hendak masuk ke Indonesia. Dalam menjalankan sekenarionya kaum modal terorganisasikan secara rapih baik secara ide maupun organisasi kerjanya. Secara ide, yang menjadi landasan bergeraknya adalan Neoliberalisme, dan secara organisasi digunakanlah lembaga-lembaga IMF, Bank Dunia, WTO, dan lembaga-lembaga multirateral yang mempermudah TNC’s (Trans Nasional Corporation) dan (Multi Nasional Corporation) MNC’s tumbuh kembang di kawasan Indonesia.
Dalam pelaksanaannya secara prinsip system ini telah mulai mengakar di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari indikasi dan fakta- fakta Tentang aturan pasar yang mengharuskan segala peraturan pemerintah yang mebatasi perusahaan-perusahaan dalam berinvestasi ditekan bahkan dihilangkan, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya control harga dari Negara, dan kecilnya tarif pajak dan cukai khususnya terhadap produk dan barang import. Pemotongan pengeluaran Negara pada sector yang tidak produktif/ pelayanan social hal ini dapat dilihat dari pemangkasan subsidi (BBM, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan). Deregulasi, yakni dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan peraturan-peraturan dari pemerintah yang dapat memberatkan pengusaha, dalam hal ini Garis besar revitalisasi menyangkut kegiatan strategis yang salah satunya adalah Paket perbaikan ekonomi dan investasi melalui kegiatan Hubungan Industrial yang dituangkan dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 UU PM serta yang paling dekat dan saat ini sedang dalam pembahasan adalah penggantian ketentuan Pasal 156 dalam UUK 13/2003 kedalam PP serta Privatisasi BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor asing. Indikasi ini juga yang akan menjadi skenario atas dimunculkannya RPP pesangon tersebut dan penerapan system asuransi pesangon. Bagaimana tidak menggiurkan sebagai lembaga penjamin, lembaga penjamin yang nantinya akan menangani tunjangan pesangon membutuhkan cos hingga dana cadangan sebanyak 200 Triliun rupiah, dengan asumsi bahwa saat ini keanggotaan Jamsostek mencapai 10 Juta orang, bukankah angka tersebut tidak cukup fantastis guna menarik Investor Asing? Baik secara potensi pasar dan infrastruktur Jamsostek yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, cukup menggiurkan untuk dikuasai modal asing.
Secara yuridis melihat substansi isi dari peraturan yang dibuat, dengan merujuk kepada ketentuan yang lebih tinggi, kemanfaatan, sinergisitas dan yang jaminan kepastian hukum itu sendiri. Di Indonesia hubungan industrial merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 serta sebagai hukum materiil nya mengacu kepada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 21 Tahun 2000 Tantang Serikat Pekerja/Buruh, UU No 3 Tahun 1992 Tantang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan peraturan dibawahnya.
Menyikapi draft RPP yang dimunculkan ternyata banyak hal yang mengandung pertentangan dengan ketentuan diatasnya, sehingga tidak terjadi sinergisitas dan banyak juga yang mengambang atau abstrak.
Dan secara empiris dimunculkannya RPP tidak berdasar atas fakta dan realitas nyata buruh, beberapa fakta empiris yang dijadikan alasan dalam pembentukan RPP tidak cukup mendasar. Selain itu juga substansi dalam pointer RPP pesangon ini tidak berkaca dan cenderung bertentangan dengan realitas dan kebutuhan kelompok sasaran, sehingga jika dipaksakan, RPP tersebut jadikan PP, maka tidak akan efektif dan justru akan merugikan.
Alasan yang dijadikan dasar pemerintah dalam pembentukan RPP adalah besarnya angka Perselisihan PHK (sebanyak 60.000 buruh) yang hingga saat ini belum terselesaikan, karena pengusahanya kabur. Tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja, serta enggannya investor menanamkan modalnya ke Indonesia. Hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar empiris dalam mengesahkan RPP, karena kalau ditinjau lebih lanjut bersarnya angka PHK yang tidak terselesaikan hingga saat ini, sebenarnya disebabkan gagalnya aparatus pelaksana (Departemen Tenagakerja dan Transmigrasi) serta kebijakan pemerintah yang masih sangat longgar dalam memperlakukan investor.
Bahwa lemahnya pengawasan ketenagakerjaan merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri banyaknya perusahaan yang tidak memenuhi hak normatif dan juga tidak lepas dari pengawasan yang dilakukan pihak Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sehingga hal tersebut berpotensi memunculkan perselisihan yang akan berujung pada PHK. Selain itu mekanisme penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial masih dirasa tidak efektif, penyelesaian perselisihan yang memakan waktu lama seolah menjadi mekanisme yang lazim dalam dunia ketenagakerjaan, tidak heran angka kasus perselisihan yang belum terselesaikan terus bertumpuk- tumpuk.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa rencana diminculkanya RPP bukanlah didasari atas alas an-alasan formal seperti yang terdapat dalam konsideran akan tetapi lebih kepada upaya pengalihan konflik perburuhan kepada lembaga penjamin yang bermuara kepada pelemahan posisi tawar kaum buruh diperusahaan karena pasca disahkanya RPP ini maka pengusaha akan dengan mudah melakukan PHK. Dan yang tidak kalah penting adalah rencana besar privatisasi BUMN yang dalam hal ini adalah lembaga penjamin pesangon.