Minggu, 02 Desember 2007
Nasib Buruh Indonesia dalam Jeratan RPP
Tata ekonomi global membuat buruh di negara- negara dunia ketiga, seperti Indonesia nasibnya semakin terjepit. Fenomena PHK massal, sebagai akibat dari relokasi industri (capital flaigh), system outsorching adalah sebuah system yang memungkinkan bagi kapitalisme global untuk melakukan eksplotasi sumber- sumber daya alam dan manusia, pada akhirnya bermuara kepada kemiskinan, pengangguran dan kemelaratan.
Ivestasi dianggap sebagai solusi atas masalah krisis ekonomi, kemiskinan dan pengangguran, salah satu caranya yakni menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel (MLF), yang secara nyata dapat dimaknai bahwa persoalan buruh diserahkan pada mekanisme pasar, buruh disamakan dengan komoditi yang dapat diperjualbelikan dipasaran global.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pesangon yag saat ini sedang digodog dan menunggu disahkan sesungguhnya lebih sebagai upaya untuk melakukan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No 13 Tahun 2003, yang pada tahun 2006 gagal digoalkan oleh pemerintah pusat karena mendapat penentangan keras dari pihak buruh. Oleh karenanya kemunculan dua RPP ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam pensiasatan untuk merevisi UU No 13 tahun 2003 yang dianggap masih belum ramah investasi. walau mengorbankan rakyat. Meskipun kalau Negara mau jujur terhadap rakyat, sesungguhnya keengganan investasi masuk ke Indonesia, bukan lah disebabkan uang pensangonnya (Jaminan Sosial) terlalu tinggi atau upah buruh. Persoalan yang paling dikeluhkan pengusaha/ invetor selama ini sebenarnya terutama pada adanya: ketidak stabilan makro ekonomi; ketidak pastian kebijakan; korupsi pemerintah lokal dan pusat; pajak; biaya tinggi;
Tidak kalah pentingnya yang harus di cermati, adalah bahwa investasi tidak masuk juga disebabkan karena para investor lebih tertarik “berjudi” dalam perdagangan spekulatif dalam bentuk perdagangan saham dan mata uang dibandingkan menanamkan modalnya bagi investasi riil seperti permbangunan suatu industri, bangun pabrik atau investasi riil lainnya.
Keterlibatan buruh dalam pembahasan RPP hanyalah formalitas belaka, karena secara substansial buruh hanya dijadikan pelengkap dari seting besar pemerintah dengan kaum pemodal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa bahasan penting yang menjadi tujuan pokok dikeluarkanya RPP yang pada hakekatnya mengingkari prinsip dasar dalam penciptaan sebuat perundang-undangan itu sendiri.
Filosofis dari sebuah peraturan atau rancangan peraturan dapat dilihat Dari bagian konsiderans, baik dari pertimbangan faktanya maupun pertimbangan hukumnya. Tapi seringkali pertimbangan tersebut abstrak, sehingga untuk mencari dan menemukan ruh atau semangatnya dapat dilihat dari naskah akademisnya, akan tetapi hingga saat ini belum ada publikasi Naskah Akademik dari RPP tersebut. Seolah peraturan tersebut hanya diperuntukkan bagi perumus bukan kepada masyarakat atau pihak yang secara langsung menerima dampak (sasaran) dari pengaturan yang nantinya dimunculkan.
Secara filosofis RPP tentang perubahan uang pesangon dan perhitungan uang penghargaan masa kerja secara sekilas terlihat ada tiga hal yang ingin dicapai dengan RPP yaitu pertama, memberikan perlindungan pada pekerja/ buruh yang mengalami PHK. Kedua, ingin mengurangi kesenjangan jumlah uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja antara pekerja dengan upah tinggi dan yang lebih rendah. Ketiga, menciptakan iklim kondusif bagi dunia usaha.
Akan tetapi justru didalam isi RPP tidak cukup memberikan perlindungan terhadap Buruh yang di PHK karena yang terjadi adalah pembiasan perselisihan khususnya bagi buruh yang nilai pesangonya diatas lima kali PTKP karena disamping harus diselesaikan melalui lembaga penjamin juga sisanya harus diselesaikan dengan pihak pengusaha langsung. Adanya keinginan pembentuk RPP untuk mengurangi kesenjangan besaran pesangon dan penghargaan masa kerja antara pekerja yang berupah tinggi dan rendah bukan jawaban yang populis bagi buruh. Nampaknya pembentukan RPP ingin memaknai keadilan sebagai sebuah proses penyamarataan atau berbagi beban, padahal keadilan kumulatif adalah milik hakim, bukan miliknya pembuat peraturan perundangan. Justru yang seharusnya dikedepankan adalah keadilan distributive.
Secara politik ekonomi, pemerintah Indonesia hingga saat ini menyediakan dirinya menjadi agen untuk meluluskan kepentingan kaum modal yang telah dan hendak masuk ke Indonesia. Dalam menjalankan sekenarionya kaum modal terorganisasikan secara rapih baik secara ide maupun organisasi kerjanya. Secara ide, yang menjadi landasan bergeraknya adalan Neoliberalisme, dan secara organisasi digunakanlah lembaga-lembaga IMF, Bank Dunia, WTO, dan lembaga-lembaga multirateral yang mempermudah TNC’s (Trans Nasional Corporation) dan (Multi Nasional Corporation) MNC’s tumbuh kembang di kawasan Indonesia.
Dalam pelaksanaannya secara prinsip system ini telah mulai mengakar di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari indikasi dan fakta- fakta Tentang aturan pasar yang mengharuskan segala peraturan pemerintah yang mebatasi perusahaan-perusahaan dalam berinvestasi ditekan bahkan dihilangkan, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya control harga dari Negara, dan kecilnya tarif pajak dan cukai khususnya terhadap produk dan barang import. Pemotongan pengeluaran Negara pada sector yang tidak produktif/ pelayanan social hal ini dapat dilihat dari pemangkasan subsidi (BBM, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan). Deregulasi, yakni dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan peraturan-peraturan dari pemerintah yang dapat memberatkan pengusaha, dalam hal ini Garis besar revitalisasi menyangkut kegiatan strategis yang salah satunya adalah Paket perbaikan ekonomi dan investasi melalui kegiatan Hubungan Industrial yang dituangkan dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 UU PM serta yang paling dekat dan saat ini sedang dalam pembahasan adalah penggantian ketentuan Pasal 156 dalam UUK 13/2003 kedalam PP serta Privatisasi BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor asing. Indikasi ini juga yang akan menjadi skenario atas dimunculkannya RPP pesangon tersebut dan penerapan system asuransi pesangon. Bagaimana tidak menggiurkan sebagai lembaga penjamin, lembaga penjamin yang nantinya akan menangani tunjangan pesangon membutuhkan cos hingga dana cadangan sebanyak 200 Triliun rupiah, dengan asumsi bahwa saat ini keanggotaan Jamsostek mencapai 10 Juta orang, bukankah angka tersebut tidak cukup fantastis guna menarik Investor Asing? Baik secara potensi pasar dan infrastruktur Jamsostek yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, cukup menggiurkan untuk dikuasai modal asing.
Secara yuridis melihat substansi isi dari peraturan yang dibuat, dengan merujuk kepada ketentuan yang lebih tinggi, kemanfaatan, sinergisitas dan yang jaminan kepastian hukum itu sendiri. Di Indonesia hubungan industrial merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 serta sebagai hukum materiil nya mengacu kepada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 21 Tahun 2000 Tantang Serikat Pekerja/Buruh, UU No 3 Tahun 1992 Tantang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan peraturan dibawahnya.
Menyikapi draft RPP yang dimunculkan ternyata banyak hal yang mengandung pertentangan dengan ketentuan diatasnya, sehingga tidak terjadi sinergisitas dan banyak juga yang mengambang atau abstrak.
Dan secara empiris dimunculkannya RPP tidak berdasar atas fakta dan realitas nyata buruh, beberapa fakta empiris yang dijadikan alasan dalam pembentukan RPP tidak cukup mendasar. Selain itu juga substansi dalam pointer RPP pesangon ini tidak berkaca dan cenderung bertentangan dengan realitas dan kebutuhan kelompok sasaran, sehingga jika dipaksakan, RPP tersebut jadikan PP, maka tidak akan efektif dan justru akan merugikan.
Alasan yang dijadikan dasar pemerintah dalam pembentukan RPP adalah besarnya angka Perselisihan PHK (sebanyak 60.000 buruh) yang hingga saat ini belum terselesaikan, karena pengusahanya kabur. Tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja, serta enggannya investor menanamkan modalnya ke Indonesia. Hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar empiris dalam mengesahkan RPP, karena kalau ditinjau lebih lanjut bersarnya angka PHK yang tidak terselesaikan hingga saat ini, sebenarnya disebabkan gagalnya aparatus pelaksana (Departemen Tenagakerja dan Transmigrasi) serta kebijakan pemerintah yang masih sangat longgar dalam memperlakukan investor.
Bahwa lemahnya pengawasan ketenagakerjaan merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri banyaknya perusahaan yang tidak memenuhi hak normatif dan juga tidak lepas dari pengawasan yang dilakukan pihak Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sehingga hal tersebut berpotensi memunculkan perselisihan yang akan berujung pada PHK. Selain itu mekanisme penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial masih dirasa tidak efektif, penyelesaian perselisihan yang memakan waktu lama seolah menjadi mekanisme yang lazim dalam dunia ketenagakerjaan, tidak heran angka kasus perselisihan yang belum terselesaikan terus bertumpuk- tumpuk.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa rencana diminculkanya RPP bukanlah didasari atas alas an-alasan formal seperti yang terdapat dalam konsideran akan tetapi lebih kepada upaya pengalihan konflik perburuhan kepada lembaga penjamin yang bermuara kepada pelemahan posisi tawar kaum buruh diperusahaan karena pasca disahkanya RPP ini maka pengusaha akan dengan mudah melakukan PHK. Dan yang tidak kalah penting adalah rencana besar privatisasi BUMN yang dalam hal ini adalah lembaga penjamin pesangon.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar