RESOLUSI MAY DAY
KEPELOPORAN PERGERAKAN BURUH NASIONAL
MENUJU PERSATUAN GERAKAN RAKYAT
LAWAN PENJAJAHAN GAYA BARU
SEBAGAI PENGANTAR
Buruh sebagai tulang punggung perekonomian suatu bangsa seharusnya mempunyai posisi sosial istimewa dalam sistem perekonomian suatu negara. Hari buruh sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei (May Day) telah menjadi peringatan atas radikalisasi dan pergolakan kebangkitan kaum buruh dalam memperjuangkan kehidupannya yang lebih layak. Tuntutan pengurangan jam kerja dari 12 jam menjadi 8 jam kerja menjadi sebuah catatan penting dalam sejarah, dimana radikalisasi gerakan buruh telah menghasilkan re-negosiasi hubungan kerja antara kelas buruh dengan kelas para pemodal yang berdampak secara internasional.
Kendati demikian, sebelumnya sejarah pernah mencatat, lahirnya revolusi industri yang mendorong terjadinya perubahan sistem produksi di masyarakat telah menggeser keberadaan tenaga kerja manusia tergantikan oleh tenaga mesin, baik dalam proses produksi di pabrik-pabrik, sektor transportasi ataupun sektor pertambangan. Maraknya sistem produksi massal (mass production) dengan menawarkan kualitas yang lebih tinggi dan harga yang relatif murah seakan-akan menjadi sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Dari sinilah kemudian, kapitalisme lahir dan terus berkembang menjadi suatu sistem penjajahan gaya baru yang tetap berwatak akumulatif, eksploitatif dan ekspansif. Saat ini, kapitalisme dengan panji-panji globalisasinya dan mesin intensif eksploitasinya, secara bersamaan melalui rekayasa peradaban muktahirnya mampu membius milyaran umat manusia terlena pasrah dan sekaligus terhisap secara tidak sadar. Dari serentetan isu mengenai pemerintahan bersih, ramah investasi asing, pertumbuhan ekonomi, anti terorisme, perubahan iklim, efisiensi produksi bahkan sampai dibuatnya landasan teori atas liberalisasi pasar tenaga kerja pada akhirnya itu semua merupakan selubung-selubung ideologi palsu yang terangkai indah dan terkesan rasional dalam regulasi-regulasi internasional yang dipaksakan atau disepakati secara sadar dan tidak sadar oleh negara-negara dunia ketiga. Dimana pada akhirnya negara-negara miskin ikut berperan dalam mobilisasi upeti besar-besaran dari rakyat pekerja kepada kemakmuran segelintir kaum pemodal internasional.
Untuk itu, Hari Buruh Sedunia (May Day) yang akan jatuh pada tanggal 1 Mei 2008 ini haruslah menjadi momentum besar dan ingatan kolektif rakyat pekerja Indonesia, untuk bersama-sama bahu membahu dalam satu persatuan gerakan semesta rakyat Indonesia guna meneguhkan kembali demokrasi rakyat yang sesungguhnya, yakni sistem demokrasi yang tidak hanya diukur secara prosedural semata-mata ataupun cukup diukur dengan kemunculan banyak partai. Akan tetapi sebuah sikap dan perbuatan yang mana kepentingan rakyat bisa terlaksanakan dan struktur penindasan rakyat terkuburkan oleh elemen-elemen politik masyarakat. Sehingga pengertian atas demokrasi bukan lagi diterjemahkan dalam konteks liberalisme vulgar (baca:ngawur) melainkan munculnya kritisisme dan radikalisasi di tingkatan massa. Maka kemudian menjadi penting bagi Serikat Buruh Indonesia (SBI) untuk merasionalisasi gagasan-gagasan pembetulan tersebut.
PENGEBIRIAN GERAKAN BURUH DI BALIK RESOLUSI BIPARTIT NASIONAL
Masifnya PHK massal, tingginya pengangguran, upah buruh rendah, naiknya harga sembako, pemberangusan serikat pekerja, praktek outsourching, kriminalisasi gerakan buruh bahkan sampai fenomena perpecahan serikat buruh telah menjadi bukti bahwasanya posisi tawar gerakan buruh masihlah lemah di hadapan negara dan pemodal. Keberadaan UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, secara tidak sadar telah mengkotak-kotakan dan membagi tingkatan organisasi buruh mulai dari tingkatan pabrik / perusahaan hingga lokal sampai skala nasional. Belum lagi, penerapan atas UU Otonomi Daerah sebagai instrumen hukum negara telah membagi-bagi struktur kekuasaan menjadi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kondisi ini secara otomatis berakibat pada pola perjuangan dan solidaritas serikat buruh dalam memperjuangkan nilai upah yang layak sering terbatasi dengan batas-batas kewilayahan atau propinsi, sehingga berdampak juga pada pengkotak-kotakan isu perburuhan yang akan diusung.
Transisi demokrasi, paska reformasi 1998 yang seharusnya mendorong terjadinya perubahan cara produksi yang berpihak kepada masyarakatnya ternyata hanya merubah model kekuasaan tirani ala Soeharto berubah menjadi model kekuasaan oligarki dan anti rakyat serta tetap tunduk pada kepentingan kapitalisme internasional. Dan kini, bentuk kekuasaan oligarki itu merasuk ke dalam tubuh organisasi serikat-serikat buruh plat kuning yang mendukung kebijakan pemerintah dan pemodal guna menekan radikalisasi gerakan buruh itu sendiri.
Gemuruh kemenangan gerakan buruh dalam menghalau rencana pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan No.13, telah memaksa negara untuk menyerahkan proses ini ke dalam Forum Tripartit Nasional (Kesepakatan Pemerintah-Pengusaha-Buruh). Namun konfederasi buruh nasional yang tergabung dalam Tripartit Nasional sampai saat ini hanya sekedar digunakan sebagai representasi gerakan buruh dalam mendukung sekian kebijakan negara yang menindas. Praktek deradikalisasi (baca:pelemahan) dan deideologisasi (baca:pembodohan) gerakan buruh yang dilakukan negara bisa kita lihat dari dukungannya terhadap perumusan Resolusi Bipartit Nasional yang digagas oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia/Apindo dengan konfederasi plat kuning, KSBSI (Rekson Silaban) dan KSPI (Thamrin Mosi) pada Munas Apindo ke-VIII, di Hotel The Sultan, di Jakarta, Kamis (27/3/2008) yang lalu. Kesepakatan Bipartit Nasional tersebut tidak ubahnya sebuah rekayasa sosial dimana seolah-olah gerakan buruh bersama para pengusaha dapat bergandengan tangan menyambut proses liberalisasi modal asing dan stabilitas perekonomian di Indonesia. Hal ini setidaknya bisa terlihat dari pendapat Sofyan Wanandi selaku Ketua Apindo, yang mengutarakan beberapa hal sebagai berikut:
Adanya praktek-praktek Suhartois Orde Baru dengan stigmatisasi (baca: pengecapan) radikalisasi gerakan buruh ala sebagai gerakan komunisme karena terdoktrin ajaran Karl Marx. Pendapat Sofyan Wanandi meyakini perjuangan kelas kaum buruh melawan kelas pemodal sesungguhnya bisa dihindari dengan jalan dibentuknya wadah komunikasi bersama antara pengusaha dan gerakan buruh itu sendiri.
Padahal, serikat buruh tanpa harus memahami terlebih dahulu tentang ajaran Karl Marx tentang perjuangan kelas kelas buruh sekalipun, perjuangan gerakan buruh untuk memperjuangkan hak-haknya niscaya tetap akan terjadi. Sebab, alasan mendasar perjuangan itu sesungguhnya sendiri dilandasi karena kondisi kerja yang tidak memanusiakan buruh.
Pembentukan Bipartit Nasional yang akan diperluas pelembagaannya sampai ke daerah-daerah yang ditujukan guna menyelesaikan problem-problem hubungan industrial antara pengusaha dan buruh serta demi menjaga stabilitas politik dan iklim investasi nasional, mengakibatkan radikalisasi dan aksi-aksi gerakan buruh harus segera diminimalisir.
Padahal setiap kali kemunculan adanya gemuruh radikalisasi gerakan buruh di Indonesia selalu akibat REAKSI dari kebijakan pengusaha dan negara yang menindas. Singkatnya, dalam menjaga persatuan gerakan dan solidaritas kaum buruh Indonesia, semua kekuatan buruh harus selalu meningkatkan kesiapsiagaan massa dan tidak terprovokasi dengan sekian manuver-manuver yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang anti perjuangan buruh serta waspadai watak-watak oligarki yang merasuk ke dalam badan-badan kekuasaan negara juga telah merasuki konfederasi-konfederasi buruh kepala batu alias konfederasi plat kuning.
KEMANAKAH GERAKAN BURUH HARUS MELANGKAH
Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Presiden RI I Bung Karno, bahwa ” Buruh adalah anak kandung dari kapitalisme...”, maka menjadi benar adanya berbicara struktur penindasan buruh pada hari ini, mau tidak mau kita juga harus berbicara mengenai perkembangan kapitalisme itu sendiri dan peralihannya di Indonesia. Dimana, pada hari ini instrumen kapitalisme telah menjelma menuju tahapan tertinggi menjadi neo-kolonialisme imperialisme (baca: penjajahan gaya baru) yang mengusung keniscayaan globalisasi (pasar bebas) yang tidak lain merupakan penjelmaan dari modifikasi praktek-praktek penjajahan ala Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di masa lampau.
Fenomena kapitalisme birokrasi seperti yang pernah dilakukan oleh kaum birokrasi feodal di jaman dulu, kini juga menyuburkan praktek-praktek rente (baca:pungutan liar) yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat keamanan negara. Sekiranya hal ini yang menyebabkan terhambatnya transformasi kapital di negri ini. Sehingga desain pembangunan perekonomian nasional diserahkan begitu saja dan tunduk kepada resep-resep lembaga ekonomi kapitalisme nternasional (baca: Bank Dunia, IMF, WTO, MNC-TNC) dan negara-negara maju. Pada akhirnya, konsepsi “ Pembangunan Indonesia” berubah menjadi “Pembangunan di Indonesia”, serta kondisi tersebut mensyaratkan keadaan buruh kita pada kondisi minimum alias upah buruh murah. Artinya, sistem upah buruh di Indonesia tidak pernah didasarkan pada kebutuhan primer sekunder buruh tetapi dari sisa atas banyaknya nilai lebih yang dicuri kapitalis yang kemudian dirente oleh militer dan birokrasi negara yang berwatak oligarkis dan komparador (baca:pengkhianat). Belum lagi, praktek-praktek relokasi industri negara maju ke negara-negara dunia ketiga (baca: Indonesia) berpotensi terjadinya capital flight (pemindahan investasi modal) ke luar negeri yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Tentunya hal ini menyebabkan posisi tawar buruh semakin lemah di hadapan pemodal dan sekali lagi, hal ini menjadi bukti ketidakberdayaan negara melindungi warga negaranya sendiri.
Singkatnya, tidak akan pernah ada gerakan buruh yang kuat tanpa bangunan kapital nasional yang kuat. Namun, ini bukan berarti bahwa gerakan buruh harus selalu mengutamakan kepentingan pengusaha terlebih dahulu. Posisi buruh yang selalu dianggap sebagai variabel dari kapital produksi pengusaha adalah pendapat yang selalu dipakai oleh pengusaha hari ini. Buruh bukanlah komoditi, buruh bukanlah sapi perahan. Seharusnya, buruh memliki posisi yang sejajar dengan pengusaha dalam hubungan industri. Sebab buruh juga telah memiliki investasi (baca: modal) yang ditanamkan di pabrik, yakni tenaga keringat buruh itu sendiri. Maka dari logika variabel kapital, buruh harus didorong menjadi kapital konstan yang memiliki kesejajaran dalam hubungan industrial. Serta perebutan dan ambil alih pabrik menjadi keniscayaan ketika pengusaha sudah tidak memperlakukan para pekerjanya sebagaimana layaknya manusi yang bermartabat. Untuk itu, kepada seluruh barisan konfederasi, federasi dan serikat buruh di Indonesia, bersama-sama bahu membahu untuk :
Mendorong dan meningkatkan pola perjuangan ekonomi (baca: normatif) serikat buruh menjadi perjuangan politik perburuhan. Ini menjadi penting sebagai jawaban atas keterjebakan serikat buruh dalam perjuangan hak normatif menuju perang posisi secara politik dan gerakan terhadap kebijakan negara dan pemodal yang menindas.
Menghilangkan tradisi ke-serikat-an buruh dalam perjuangan gerakan proletariat nasional (:gerakan rakyat pekerja). Sebab, pendekatan sektoralisme dalam sebuah pola perjuangan bersama rakyat harus segera dilampui. Sebab posisi gerakan buruh harus memposisikan sebagai barisan pelopor perjuangan kerakyatan.
Tetap menjaga, mempertahankan dan memperluas konsolidasi antar gerakan rakyat pekerja seluas-luasnya. Ini bertujuan untuk dapat merapatkan seluruh kekuatan gerakan buruh di semua pelosok daerah republik ini.
UU PENANAMAN MODAL 25/2007
MENGANCAM INDUSTRIALISASI NASIONAL & KEDAULATAN RAKYAT
Dulu di era Orde baru, Suharto membuat payung hukum liberalisasi pertama kali di Indonesia dengan memberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang kemudian disusul dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Namun hari ini kedua UU tersebut sudah diganti kedudukannya dengan disahkannya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hal ini mensiratkan bahwa developmentalisme ala Orde baru masih berlanjut hingga rezim hari ini. UU Penanaman Modal yang baru saja disahkan ini sesungguhnya masih merupakan salah satu bagian dari isi paket perbaikan kebijakan iklim investasi yang tertuang melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006. Dimana salah satu programnya adalah mengubah Undang-Undang (UU) Penanaman Modal agar memuat prinsip-prinsip dasar, seperti: perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan sama investor domestik dan asing (di luar Negative List), dan Dispute Settlement. Namun yang harus digarisbawahi, keberadaan Inpres No.3/2006 ini juga mensyaratkan adanya liberalisasi pasar tenaga kerja dengan merevisi UU Ketenagakerjaan yang beberapa tempo lalu berhasil dihadang melalui jalur ekstraparlementer massa aksi gerakan buruh Indonesia. Kendati UU Ketenagakerjaan pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, namun pasal-pasal mengenai outsourching (baca: perbudakan gaya baru) tetap diloloskan yang mana sampai detik ini telah menuai banyak kesengsaraan di pihak buruh sendiri.
Demi mendukung penguatan negara untuk menyelamatkan perekonomian dan industri nasional yang bebas dari ketergantungan Kapitalisme Internasional, Serikat Buruh Indonesia melalui Serikat Buruh Indonesia Jabodetabek (SBI-J) bersama-sama dengan organisasi rakyatnya lainnya yang tergabung dalam Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Lawan NeoKolonialisme Imperialisme), melakukan gugatan judicial review UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal Maret 2008 yang lalu. Menilai putusan MK dan melihat beberapa respon pengusaha terhadap putusan MK tersebut, dapat disimpulkan beberapa sikap sebagai berikut:
Keputusan MK untuk mengabulkan sebagian tuntutan penggugat, Pasal 22 ayat 1, 2 dan 4 mengenai pemberian izin Hak Guna Usaha, menegaskan bahwa terkesan MK menghindari isu-isu perburuhan yang juga dimuat dalam beberapa pasal UU Penanaman Modal tersebut. Ini berarti, keberadaan UU ini sebagai blue print industri nasional serta investasi nasional telah menjadi legitimasi hukum untuk menggadaikan kedaulatan rakyat atas tanah, air, udara, pangan, mineral, tambang serta harga diri republik ini. Untuk itu, seluruh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif negara serta kaum terdidik yang terlibat dalam penyusunan UU ini harus bertanggung jawab atas bahaya akan dampak bencana nasional ini.
Sesuai dengan dissenting opinion dalam putusan MK tersebut dapat terlihat bahwasanya kebijakan dan regulasi nasional yang dibuat oleh pemerintah terkadang tidak sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 dan acapkali lebih bersifat liberal bila dibandingkan dengan turunan regulasi-regulasi internasional yang dibuat oleh lembaga ekonomi liberal.
Sebab, seringkali paradigma ekonomi nasional yang digunakan sering terjebak dalam doktrin liberalisme dan free-market economy yang sempurna, yang sesungguhnya telah sejak awal disadari ketidakbenarannya. Perlakuan yang sama antara investor asing dengan investor dalam negeri dalam keleluasaan dan fasilitas penanaman modal di Indonesia justru lebih liberal daripada apa yang dilakukan oleh negara-negara maju itu sendiri. Sebab praktek negara-negara maju untuk perlakuan yang sama antara investor asing dan investor dalam negri dan bersandar atas klausul national treatment yang dikenal dalam Perjanjian Trims, Trade Related Investment Measures yang telah diatur oleh Organisasi Perdagangan Internasional / WTO, hanya diberlakukan sepanjang berkaitan dengan kegiatan perdagangan bebas. Artinya, sikap negara-negara maju dalam melibatkan investor asing di luar kegiatan perdagangan antar negara tetap memprioritaskan investor dalam negrinya sendiri.
UU ini masih melegitimasi terjadinya capital flight yang pada perjalanannya akan menimbulkan ketidakberdayaan negara kembali dalam menghadapi PHK massal. Belum lagi, praktek outsorching akan membuat posisi tawar buruh semakin terpuruk serta berpotensi atas meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan di negara ini.
Menilai respon terhadap putusan MK ini, muncul sikap kekecewaannya dan rasa pesimis di kalangan para pengusaha di Indonesia. Sebab, putusan MK yang mengabulkan dicabutnya Pasal 22 mengenai pemberian izin HGU, HGB dan Hak Pakai dianggap masih menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan investasi di Indonesia. Pendapat yang sempat dimuat dalam Harian Surat kabar Media Indonesia pada Senin, 7 April 2008 yang lalu, justru semakin menegaskan bahwasanya karakter “Borjuasi Nasional” (baca:pengusaha nasional) yang berpihak kepada rakyat dan kepentingan nasional di negri ini masih sangat minim.. Artinya, keberadaan banyak pengusaha nasional yang tumbuh hari ini masih saja menjadi kekuatan subordinasi dari kepentingan pengusaha dan investor asing.
Sekiranya mengutip pendapat berbeda Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menjadi benar adanya, “Jikalau bumi, air dan segala isinya dikuasai negara dalam konsepsi pemilikan kolektif bangsa untuk kesejahteraan seluruh rakyat, maka jika tujuan penyelenggaraan penanaman modal adalah untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan bantuan modal asing, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka menjadi tidak rasional dan logis jikalau rakyat Indonesia sebagai pemilik kolektif bumi, air dan segala kekayaannya, diperlakukan sama dalam fasilitas perolehan hak atas tanah dalam penanaman modal, karena hak-haknya sebagai warga negara memiliki korelasi dengan kewajibannya sebagai warga negara dengan segala aspek sosial, politik, kultural dan psikologis, yang tidak dimiliki warga negara asing. Negara Kesatuan Republik Indonesia justru didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah, yang tiap warga negara wajib membelanya, dan untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan, yang tiap warga negara Indonesia berhak atasnya.”
Untuk itu, jikalau memang definisi kepentingan nasional mensaratkan pembangunan ekonomi bangsa ini diselenggarakan untuk mendorong daya saing ekonomi nasional dalam menghadapi derasnya persaingan global, sudah seharusnya negara melakukan tahapan terdahulu untuk mempersiapkan investor dalam negeri untuk menjadi lebih matang dan tangguh. Dan perhatian terhadap pengakuan kedaulatan sosial politik kaum buruh dan kesejahteraan buruh yang pada akhirnya akan mendongkrak daya beli nasional menjadi suatu tindakan langsung yang harus dilakukan secara bersamaan. Sebab pengusaha nasional hari ini juga harus jujur dan berani bersikap kepada rezim hari ini, bahwa beban yang paling berat yang dipikul oleh pengusaha domestik bukanlah tuntutan buruh meminta upah yang layak, melainkan karena ekonomi biaya tinggi sebagai akibat dari panjangnya jalur birokrasi serta masih masifnya praktek-praktek rente atau pungutan liar yang terjadi selama proses produksi hingga distribusi.
Maka bangkitnya industri nasional yang mampu berjalan seiring dengan kokohnya gerakan rakyat pekerja akan tetap menghantarkan rakyat Indonesia untuk tetap menjadi tuan di negerinya sendiri dan berdaulat secara politik dan ekonomi sebagai pemilik sah kolektif bumi, air dan segenap kekayaan alamnya, yang telah dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. Sebab, ternyata praktek negara-negara maju di masa lalu juga mengenal affirmative action atau reverse discrimination, yang dilakukan untuk mengangkat posisi kelompok yang menjadi lemah karena perlakuan diskriminatif di masa lalu agar menjadi setara dan sederajat dengan kelompok yang sudah lebih dahulu maju, atau setidak-tidaknya siap untuk menghadapi keadaan agar tidak tertelan dalam persaingan bebas. Sehingga fenomena capital flight yang selalu menghantui kaum buruh Indonesia bisa langsung dijawab dengan penuntasan transformasi kapital nasional secara merata, transparan, akuntabilitas dan berkeadilan.
Untuk itu, menjadi jelas bahwasanya tidak ada gerakan buruh yang kuat tanpa kapital yang kuat. Dan dalam kondisi relasi hubungan ekonomi politik internasional yang timpang, tidak ada kapital yang kuat tanpa parlemen yang kuat. Sehingga peran negara sebagai kekuatan organik nasional harus mampu menjadikan tanah, air, mineral, pangan dan tambang didaulat dan diperuntukan oleh rakyat Indonesia sebagai langkah awal renegosiasi tatanan ekonomi neoliberal yang menindas dan menghisap.
MENUJU MAY DAY 2008
Keberadaan Pasal 27 UUD 1945 (Ayat 2) bahwa “...Tiap-tiap warga negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan...”, menegaskan bahwa konstitusi mengamanatkan kepada negara Indonesia untuk ANTI PENGANGGURAN dan ANTI KEMISKINAN bagi seluruh warga negara Indonesia.
Artinya, praktek outsourching seiring dengan diterapkannya kebijakan Labor Market Flexibility (LMF), tidak terlindunginya Tenaga Kerja Indonesia/TKI yang bekerja di luar negri, anjloknya daya beli masyarakat seiring dengan mahalnya harga sembako dan pengebirian kesejahteraan kaum buruh dengan digodoknya Rancangan Peraturan Pemerintahan tentang Pesangon bahkan sampai rencana RUU Jaminan Sosial Pekerja menjadi bukti bahwasanya sudah saatnya kaum buruh Indonesia harus bersatu dan mengkonsolidasikan diri dengan gerakan rakyat lainnya untuk mewujudkan demokrasi rakyat yang sejati. Yakni, demokrasi yang tidak meletakan rakyat hanya sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, melainkan munculnya kritisisme massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Sehingga pemaknaan atas demokrasi mampu menjamin perjuangan kelas tertindas dan merumuskan tuntutannya dalam formasi-formasi sosial organisasi-organisasi perjuangan rakyat melalui penguatan basis produktifnya berdasar perkembangan mode produksi kapital yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga pada tahap selanjutannya, jika ini berlangsung secara permanen dan konsisten maka gerakan rakyat akan merumuskan dengan sendirinya formasi politik sebagai manifestasi dari upaya mempersepsikan kekuasaan bagi kepentingannya sendiri guna berdaulat di tanah airnya sendiri.
Pada prinsipnya, pembacaan dan sikap SBI terhadap putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan judicial review UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 dan munculnya Resolusi Bipartit Nasional antara Apindo dan Konfederasi Plat Kuning sampai rencana pemerintah untuk merevisi UU Jamsostek serta berbagai program neoliberalisme dalam sektor perburuhan (liberalisasi modal internasional, privatisasi, outsourching, capital flight dan upah rendah), telah menjadi bukti bahwasanya rezim hari ini masih berstatus semi kolonial. Sebab sekian regulasi perburuhan dan kebijakan perekonomian nasional masih percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya pada kekuatan modal internasional dengan sistem penjajahan gaya barunya.
Untuk itu, guna mencerdasi sekian konflik perburuhan yang terjadi dan segala tipu muslihat para penindas, Serikat Buruh Indonesia menyerukan kepada seluruh kekuatan gerakan buruh dan gerakan rakyat di Indonesia untuk tetap MERAPATKAN BARISAN dan MENOLAK TUNDUK kepada cengkraman Kapitalisme Internasional serta MENUNTUT TANGGUNG JAWAB Negara, dengan cara:
Kritik Oto Kritik (baca: evaluasi menyeluruh yang membangun) bangunan organisasi dan visi misi perjuangan gerakan buruh sebagai gerakan pembetulan guna penataan dan penguatan internal masing-masing serikat buruh menuju peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) sebagai ingatan kolektif atas kepeloporan perjuangan gerakan buruh yang demokratis, independen dan revolusioner.
Melakukan konferensi-konferensi rakyat (baca: Rapat Akbar) di setiap serikat buruh, pabrik-pabrik, kerumunan massa/publik dan di setiap elemen masyarakat, sebagai counter hegemoni kebijakan negara yang menindas dan Resolusi Bipartit nasional yang menindas kaum buruh Indonesia
Tetap setia menggalang konsolidasi dan perjuangan ekstraparlementer gerakan buruh seluas-luasnya guna menuju persatuan perjuangan bersama dengan gerakan rakyat lainnya (petani, nelayan, pemuda, mahasiswa, PKL, kaum miskin perkotaan, perempuan, dll) dengan tetap bersandar atas minimum program melawan segala bentuk penghisapan dan penindasan Neo Kolonialisme dan Imperialisme/Nekolim.
Maka, sebagai sikap Kepeloporan Pergerakan Buruh Nasional Menuju Persatuan Gerakan Rakyat Lawan Penjajahan Gaya Baru, Serikat Buruh Indonesia bersama semesta rakyat Indonesia tetap menuntut :
Tolak Resolusi Bipartit Nasional
Upah Layak Bagi Buruh
Hapuskan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourching,
Jaminan Nasional Bagi Buruh Oleh Buruh dan Untuk Buruh
Cabut Peraturan Ketenagakerjaan Yang Menindas (UU Serikat Pekerja, UU Ketenagekerjaan, UU PPHI, RPP Pesangon dan RUU Jamsostek)
Cabut UU Penanaman Modal No.25/2007
Lapangan Kerja dan Tanah Untuk Rakyat
Turunkan Harga Sembako
Wujudkan Demokrasi Rakyat Yang Sejati atau KAMI GOLPUT Pemilu 2009
KUASA RAKYAT PEKERJA HANCURKAN PENJAJAHAN GAYA BARU !!!!
SELAMATKAN REPUBLIK SELAMATKAN RAKYAT !!!!
BERPISAH KITA BERJUANG, BERSATU KITA MEMUKUL
Jakarta, 8 April 2008
Dikeluarkan Oleh:
Adi Rusprianto
Sekjend Nasional
SERIKAT BURUH INDONESIA (SBI)
KEPELOPORAN PERGERAKAN BURUH NASIONAL
MENUJU PERSATUAN GERAKAN RAKYAT
LAWAN PENJAJAHAN GAYA BARU
SEBAGAI PENGANTAR
Buruh sebagai tulang punggung perekonomian suatu bangsa seharusnya mempunyai posisi sosial istimewa dalam sistem perekonomian suatu negara. Hari buruh sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei (May Day) telah menjadi peringatan atas radikalisasi dan pergolakan kebangkitan kaum buruh dalam memperjuangkan kehidupannya yang lebih layak. Tuntutan pengurangan jam kerja dari 12 jam menjadi 8 jam kerja menjadi sebuah catatan penting dalam sejarah, dimana radikalisasi gerakan buruh telah menghasilkan re-negosiasi hubungan kerja antara kelas buruh dengan kelas para pemodal yang berdampak secara internasional.
Kendati demikian, sebelumnya sejarah pernah mencatat, lahirnya revolusi industri yang mendorong terjadinya perubahan sistem produksi di masyarakat telah menggeser keberadaan tenaga kerja manusia tergantikan oleh tenaga mesin, baik dalam proses produksi di pabrik-pabrik, sektor transportasi ataupun sektor pertambangan. Maraknya sistem produksi massal (mass production) dengan menawarkan kualitas yang lebih tinggi dan harga yang relatif murah seakan-akan menjadi sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Dari sinilah kemudian, kapitalisme lahir dan terus berkembang menjadi suatu sistem penjajahan gaya baru yang tetap berwatak akumulatif, eksploitatif dan ekspansif. Saat ini, kapitalisme dengan panji-panji globalisasinya dan mesin intensif eksploitasinya, secara bersamaan melalui rekayasa peradaban muktahirnya mampu membius milyaran umat manusia terlena pasrah dan sekaligus terhisap secara tidak sadar. Dari serentetan isu mengenai pemerintahan bersih, ramah investasi asing, pertumbuhan ekonomi, anti terorisme, perubahan iklim, efisiensi produksi bahkan sampai dibuatnya landasan teori atas liberalisasi pasar tenaga kerja pada akhirnya itu semua merupakan selubung-selubung ideologi palsu yang terangkai indah dan terkesan rasional dalam regulasi-regulasi internasional yang dipaksakan atau disepakati secara sadar dan tidak sadar oleh negara-negara dunia ketiga. Dimana pada akhirnya negara-negara miskin ikut berperan dalam mobilisasi upeti besar-besaran dari rakyat pekerja kepada kemakmuran segelintir kaum pemodal internasional.
Untuk itu, Hari Buruh Sedunia (May Day) yang akan jatuh pada tanggal 1 Mei 2008 ini haruslah menjadi momentum besar dan ingatan kolektif rakyat pekerja Indonesia, untuk bersama-sama bahu membahu dalam satu persatuan gerakan semesta rakyat Indonesia guna meneguhkan kembali demokrasi rakyat yang sesungguhnya, yakni sistem demokrasi yang tidak hanya diukur secara prosedural semata-mata ataupun cukup diukur dengan kemunculan banyak partai. Akan tetapi sebuah sikap dan perbuatan yang mana kepentingan rakyat bisa terlaksanakan dan struktur penindasan rakyat terkuburkan oleh elemen-elemen politik masyarakat. Sehingga pengertian atas demokrasi bukan lagi diterjemahkan dalam konteks liberalisme vulgar (baca:ngawur) melainkan munculnya kritisisme dan radikalisasi di tingkatan massa. Maka kemudian menjadi penting bagi Serikat Buruh Indonesia (SBI) untuk merasionalisasi gagasan-gagasan pembetulan tersebut.
PENGEBIRIAN GERAKAN BURUH DI BALIK RESOLUSI BIPARTIT NASIONAL
Masifnya PHK massal, tingginya pengangguran, upah buruh rendah, naiknya harga sembako, pemberangusan serikat pekerja, praktek outsourching, kriminalisasi gerakan buruh bahkan sampai fenomena perpecahan serikat buruh telah menjadi bukti bahwasanya posisi tawar gerakan buruh masihlah lemah di hadapan negara dan pemodal. Keberadaan UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, secara tidak sadar telah mengkotak-kotakan dan membagi tingkatan organisasi buruh mulai dari tingkatan pabrik / perusahaan hingga lokal sampai skala nasional. Belum lagi, penerapan atas UU Otonomi Daerah sebagai instrumen hukum negara telah membagi-bagi struktur kekuasaan menjadi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kondisi ini secara otomatis berakibat pada pola perjuangan dan solidaritas serikat buruh dalam memperjuangkan nilai upah yang layak sering terbatasi dengan batas-batas kewilayahan atau propinsi, sehingga berdampak juga pada pengkotak-kotakan isu perburuhan yang akan diusung.
Transisi demokrasi, paska reformasi 1998 yang seharusnya mendorong terjadinya perubahan cara produksi yang berpihak kepada masyarakatnya ternyata hanya merubah model kekuasaan tirani ala Soeharto berubah menjadi model kekuasaan oligarki dan anti rakyat serta tetap tunduk pada kepentingan kapitalisme internasional. Dan kini, bentuk kekuasaan oligarki itu merasuk ke dalam tubuh organisasi serikat-serikat buruh plat kuning yang mendukung kebijakan pemerintah dan pemodal guna menekan radikalisasi gerakan buruh itu sendiri.
Gemuruh kemenangan gerakan buruh dalam menghalau rencana pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan No.13, telah memaksa negara untuk menyerahkan proses ini ke dalam Forum Tripartit Nasional (Kesepakatan Pemerintah-Pengusaha-Buruh). Namun konfederasi buruh nasional yang tergabung dalam Tripartit Nasional sampai saat ini hanya sekedar digunakan sebagai representasi gerakan buruh dalam mendukung sekian kebijakan negara yang menindas. Praktek deradikalisasi (baca:pelemahan) dan deideologisasi (baca:pembodohan) gerakan buruh yang dilakukan negara bisa kita lihat dari dukungannya terhadap perumusan Resolusi Bipartit Nasional yang digagas oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia/Apindo dengan konfederasi plat kuning, KSBSI (Rekson Silaban) dan KSPI (Thamrin Mosi) pada Munas Apindo ke-VIII, di Hotel The Sultan, di Jakarta, Kamis (27/3/2008) yang lalu. Kesepakatan Bipartit Nasional tersebut tidak ubahnya sebuah rekayasa sosial dimana seolah-olah gerakan buruh bersama para pengusaha dapat bergandengan tangan menyambut proses liberalisasi modal asing dan stabilitas perekonomian di Indonesia. Hal ini setidaknya bisa terlihat dari pendapat Sofyan Wanandi selaku Ketua Apindo, yang mengutarakan beberapa hal sebagai berikut:
Adanya praktek-praktek Suhartois Orde Baru dengan stigmatisasi (baca: pengecapan) radikalisasi gerakan buruh ala sebagai gerakan komunisme karena terdoktrin ajaran Karl Marx. Pendapat Sofyan Wanandi meyakini perjuangan kelas kaum buruh melawan kelas pemodal sesungguhnya bisa dihindari dengan jalan dibentuknya wadah komunikasi bersama antara pengusaha dan gerakan buruh itu sendiri.
Padahal, serikat buruh tanpa harus memahami terlebih dahulu tentang ajaran Karl Marx tentang perjuangan kelas kelas buruh sekalipun, perjuangan gerakan buruh untuk memperjuangkan hak-haknya niscaya tetap akan terjadi. Sebab, alasan mendasar perjuangan itu sesungguhnya sendiri dilandasi karena kondisi kerja yang tidak memanusiakan buruh.
Pembentukan Bipartit Nasional yang akan diperluas pelembagaannya sampai ke daerah-daerah yang ditujukan guna menyelesaikan problem-problem hubungan industrial antara pengusaha dan buruh serta demi menjaga stabilitas politik dan iklim investasi nasional, mengakibatkan radikalisasi dan aksi-aksi gerakan buruh harus segera diminimalisir.
Padahal setiap kali kemunculan adanya gemuruh radikalisasi gerakan buruh di Indonesia selalu akibat REAKSI dari kebijakan pengusaha dan negara yang menindas. Singkatnya, dalam menjaga persatuan gerakan dan solidaritas kaum buruh Indonesia, semua kekuatan buruh harus selalu meningkatkan kesiapsiagaan massa dan tidak terprovokasi dengan sekian manuver-manuver yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang anti perjuangan buruh serta waspadai watak-watak oligarki yang merasuk ke dalam badan-badan kekuasaan negara juga telah merasuki konfederasi-konfederasi buruh kepala batu alias konfederasi plat kuning.
KEMANAKAH GERAKAN BURUH HARUS MELANGKAH
Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Presiden RI I Bung Karno, bahwa ” Buruh adalah anak kandung dari kapitalisme...”, maka menjadi benar adanya berbicara struktur penindasan buruh pada hari ini, mau tidak mau kita juga harus berbicara mengenai perkembangan kapitalisme itu sendiri dan peralihannya di Indonesia. Dimana, pada hari ini instrumen kapitalisme telah menjelma menuju tahapan tertinggi menjadi neo-kolonialisme imperialisme (baca: penjajahan gaya baru) yang mengusung keniscayaan globalisasi (pasar bebas) yang tidak lain merupakan penjelmaan dari modifikasi praktek-praktek penjajahan ala Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di masa lampau.
Fenomena kapitalisme birokrasi seperti yang pernah dilakukan oleh kaum birokrasi feodal di jaman dulu, kini juga menyuburkan praktek-praktek rente (baca:pungutan liar) yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat keamanan negara. Sekiranya hal ini yang menyebabkan terhambatnya transformasi kapital di negri ini. Sehingga desain pembangunan perekonomian nasional diserahkan begitu saja dan tunduk kepada resep-resep lembaga ekonomi kapitalisme nternasional (baca: Bank Dunia, IMF, WTO, MNC-TNC) dan negara-negara maju. Pada akhirnya, konsepsi “ Pembangunan Indonesia” berubah menjadi “Pembangunan di Indonesia”, serta kondisi tersebut mensyaratkan keadaan buruh kita pada kondisi minimum alias upah buruh murah. Artinya, sistem upah buruh di Indonesia tidak pernah didasarkan pada kebutuhan primer sekunder buruh tetapi dari sisa atas banyaknya nilai lebih yang dicuri kapitalis yang kemudian dirente oleh militer dan birokrasi negara yang berwatak oligarkis dan komparador (baca:pengkhianat). Belum lagi, praktek-praktek relokasi industri negara maju ke negara-negara dunia ketiga (baca: Indonesia) berpotensi terjadinya capital flight (pemindahan investasi modal) ke luar negeri yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Tentunya hal ini menyebabkan posisi tawar buruh semakin lemah di hadapan pemodal dan sekali lagi, hal ini menjadi bukti ketidakberdayaan negara melindungi warga negaranya sendiri.
Singkatnya, tidak akan pernah ada gerakan buruh yang kuat tanpa bangunan kapital nasional yang kuat. Namun, ini bukan berarti bahwa gerakan buruh harus selalu mengutamakan kepentingan pengusaha terlebih dahulu. Posisi buruh yang selalu dianggap sebagai variabel dari kapital produksi pengusaha adalah pendapat yang selalu dipakai oleh pengusaha hari ini. Buruh bukanlah komoditi, buruh bukanlah sapi perahan. Seharusnya, buruh memliki posisi yang sejajar dengan pengusaha dalam hubungan industri. Sebab buruh juga telah memiliki investasi (baca: modal) yang ditanamkan di pabrik, yakni tenaga keringat buruh itu sendiri. Maka dari logika variabel kapital, buruh harus didorong menjadi kapital konstan yang memiliki kesejajaran dalam hubungan industrial. Serta perebutan dan ambil alih pabrik menjadi keniscayaan ketika pengusaha sudah tidak memperlakukan para pekerjanya sebagaimana layaknya manusi yang bermartabat. Untuk itu, kepada seluruh barisan konfederasi, federasi dan serikat buruh di Indonesia, bersama-sama bahu membahu untuk :
Mendorong dan meningkatkan pola perjuangan ekonomi (baca: normatif) serikat buruh menjadi perjuangan politik perburuhan. Ini menjadi penting sebagai jawaban atas keterjebakan serikat buruh dalam perjuangan hak normatif menuju perang posisi secara politik dan gerakan terhadap kebijakan negara dan pemodal yang menindas.
Menghilangkan tradisi ke-serikat-an buruh dalam perjuangan gerakan proletariat nasional (:gerakan rakyat pekerja). Sebab, pendekatan sektoralisme dalam sebuah pola perjuangan bersama rakyat harus segera dilampui. Sebab posisi gerakan buruh harus memposisikan sebagai barisan pelopor perjuangan kerakyatan.
Tetap menjaga, mempertahankan dan memperluas konsolidasi antar gerakan rakyat pekerja seluas-luasnya. Ini bertujuan untuk dapat merapatkan seluruh kekuatan gerakan buruh di semua pelosok daerah republik ini.
UU PENANAMAN MODAL 25/2007
MENGANCAM INDUSTRIALISASI NASIONAL & KEDAULATAN RAKYAT
Dulu di era Orde baru, Suharto membuat payung hukum liberalisasi pertama kali di Indonesia dengan memberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang kemudian disusul dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Namun hari ini kedua UU tersebut sudah diganti kedudukannya dengan disahkannya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hal ini mensiratkan bahwa developmentalisme ala Orde baru masih berlanjut hingga rezim hari ini. UU Penanaman Modal yang baru saja disahkan ini sesungguhnya masih merupakan salah satu bagian dari isi paket perbaikan kebijakan iklim investasi yang tertuang melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006. Dimana salah satu programnya adalah mengubah Undang-Undang (UU) Penanaman Modal agar memuat prinsip-prinsip dasar, seperti: perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan sama investor domestik dan asing (di luar Negative List), dan Dispute Settlement. Namun yang harus digarisbawahi, keberadaan Inpres No.3/2006 ini juga mensyaratkan adanya liberalisasi pasar tenaga kerja dengan merevisi UU Ketenagakerjaan yang beberapa tempo lalu berhasil dihadang melalui jalur ekstraparlementer massa aksi gerakan buruh Indonesia. Kendati UU Ketenagakerjaan pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, namun pasal-pasal mengenai outsourching (baca: perbudakan gaya baru) tetap diloloskan yang mana sampai detik ini telah menuai banyak kesengsaraan di pihak buruh sendiri.
Demi mendukung penguatan negara untuk menyelamatkan perekonomian dan industri nasional yang bebas dari ketergantungan Kapitalisme Internasional, Serikat Buruh Indonesia melalui Serikat Buruh Indonesia Jabodetabek (SBI-J) bersama-sama dengan organisasi rakyatnya lainnya yang tergabung dalam Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Lawan NeoKolonialisme Imperialisme), melakukan gugatan judicial review UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal Maret 2008 yang lalu. Menilai putusan MK dan melihat beberapa respon pengusaha terhadap putusan MK tersebut, dapat disimpulkan beberapa sikap sebagai berikut:
Keputusan MK untuk mengabulkan sebagian tuntutan penggugat, Pasal 22 ayat 1, 2 dan 4 mengenai pemberian izin Hak Guna Usaha, menegaskan bahwa terkesan MK menghindari isu-isu perburuhan yang juga dimuat dalam beberapa pasal UU Penanaman Modal tersebut. Ini berarti, keberadaan UU ini sebagai blue print industri nasional serta investasi nasional telah menjadi legitimasi hukum untuk menggadaikan kedaulatan rakyat atas tanah, air, udara, pangan, mineral, tambang serta harga diri republik ini. Untuk itu, seluruh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif negara serta kaum terdidik yang terlibat dalam penyusunan UU ini harus bertanggung jawab atas bahaya akan dampak bencana nasional ini.
Sesuai dengan dissenting opinion dalam putusan MK tersebut dapat terlihat bahwasanya kebijakan dan regulasi nasional yang dibuat oleh pemerintah terkadang tidak sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 dan acapkali lebih bersifat liberal bila dibandingkan dengan turunan regulasi-regulasi internasional yang dibuat oleh lembaga ekonomi liberal.
Sebab, seringkali paradigma ekonomi nasional yang digunakan sering terjebak dalam doktrin liberalisme dan free-market economy yang sempurna, yang sesungguhnya telah sejak awal disadari ketidakbenarannya. Perlakuan yang sama antara investor asing dengan investor dalam negeri dalam keleluasaan dan fasilitas penanaman modal di Indonesia justru lebih liberal daripada apa yang dilakukan oleh negara-negara maju itu sendiri. Sebab praktek negara-negara maju untuk perlakuan yang sama antara investor asing dan investor dalam negri dan bersandar atas klausul national treatment yang dikenal dalam Perjanjian Trims, Trade Related Investment Measures yang telah diatur oleh Organisasi Perdagangan Internasional / WTO, hanya diberlakukan sepanjang berkaitan dengan kegiatan perdagangan bebas. Artinya, sikap negara-negara maju dalam melibatkan investor asing di luar kegiatan perdagangan antar negara tetap memprioritaskan investor dalam negrinya sendiri.
UU ini masih melegitimasi terjadinya capital flight yang pada perjalanannya akan menimbulkan ketidakberdayaan negara kembali dalam menghadapi PHK massal. Belum lagi, praktek outsorching akan membuat posisi tawar buruh semakin terpuruk serta berpotensi atas meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan di negara ini.
Menilai respon terhadap putusan MK ini, muncul sikap kekecewaannya dan rasa pesimis di kalangan para pengusaha di Indonesia. Sebab, putusan MK yang mengabulkan dicabutnya Pasal 22 mengenai pemberian izin HGU, HGB dan Hak Pakai dianggap masih menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan investasi di Indonesia. Pendapat yang sempat dimuat dalam Harian Surat kabar Media Indonesia pada Senin, 7 April 2008 yang lalu, justru semakin menegaskan bahwasanya karakter “Borjuasi Nasional” (baca:pengusaha nasional) yang berpihak kepada rakyat dan kepentingan nasional di negri ini masih sangat minim.. Artinya, keberadaan banyak pengusaha nasional yang tumbuh hari ini masih saja menjadi kekuatan subordinasi dari kepentingan pengusaha dan investor asing.
Sekiranya mengutip pendapat berbeda Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menjadi benar adanya, “Jikalau bumi, air dan segala isinya dikuasai negara dalam konsepsi pemilikan kolektif bangsa untuk kesejahteraan seluruh rakyat, maka jika tujuan penyelenggaraan penanaman modal adalah untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan bantuan modal asing, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka menjadi tidak rasional dan logis jikalau rakyat Indonesia sebagai pemilik kolektif bumi, air dan segala kekayaannya, diperlakukan sama dalam fasilitas perolehan hak atas tanah dalam penanaman modal, karena hak-haknya sebagai warga negara memiliki korelasi dengan kewajibannya sebagai warga negara dengan segala aspek sosial, politik, kultural dan psikologis, yang tidak dimiliki warga negara asing. Negara Kesatuan Republik Indonesia justru didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah, yang tiap warga negara wajib membelanya, dan untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan, yang tiap warga negara Indonesia berhak atasnya.”
Untuk itu, jikalau memang definisi kepentingan nasional mensaratkan pembangunan ekonomi bangsa ini diselenggarakan untuk mendorong daya saing ekonomi nasional dalam menghadapi derasnya persaingan global, sudah seharusnya negara melakukan tahapan terdahulu untuk mempersiapkan investor dalam negeri untuk menjadi lebih matang dan tangguh. Dan perhatian terhadap pengakuan kedaulatan sosial politik kaum buruh dan kesejahteraan buruh yang pada akhirnya akan mendongkrak daya beli nasional menjadi suatu tindakan langsung yang harus dilakukan secara bersamaan. Sebab pengusaha nasional hari ini juga harus jujur dan berani bersikap kepada rezim hari ini, bahwa beban yang paling berat yang dipikul oleh pengusaha domestik bukanlah tuntutan buruh meminta upah yang layak, melainkan karena ekonomi biaya tinggi sebagai akibat dari panjangnya jalur birokrasi serta masih masifnya praktek-praktek rente atau pungutan liar yang terjadi selama proses produksi hingga distribusi.
Maka bangkitnya industri nasional yang mampu berjalan seiring dengan kokohnya gerakan rakyat pekerja akan tetap menghantarkan rakyat Indonesia untuk tetap menjadi tuan di negerinya sendiri dan berdaulat secara politik dan ekonomi sebagai pemilik sah kolektif bumi, air dan segenap kekayaan alamnya, yang telah dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. Sebab, ternyata praktek negara-negara maju di masa lalu juga mengenal affirmative action atau reverse discrimination, yang dilakukan untuk mengangkat posisi kelompok yang menjadi lemah karena perlakuan diskriminatif di masa lalu agar menjadi setara dan sederajat dengan kelompok yang sudah lebih dahulu maju, atau setidak-tidaknya siap untuk menghadapi keadaan agar tidak tertelan dalam persaingan bebas. Sehingga fenomena capital flight yang selalu menghantui kaum buruh Indonesia bisa langsung dijawab dengan penuntasan transformasi kapital nasional secara merata, transparan, akuntabilitas dan berkeadilan.
Untuk itu, menjadi jelas bahwasanya tidak ada gerakan buruh yang kuat tanpa kapital yang kuat. Dan dalam kondisi relasi hubungan ekonomi politik internasional yang timpang, tidak ada kapital yang kuat tanpa parlemen yang kuat. Sehingga peran negara sebagai kekuatan organik nasional harus mampu menjadikan tanah, air, mineral, pangan dan tambang didaulat dan diperuntukan oleh rakyat Indonesia sebagai langkah awal renegosiasi tatanan ekonomi neoliberal yang menindas dan menghisap.
MENUJU MAY DAY 2008
Keberadaan Pasal 27 UUD 1945 (Ayat 2) bahwa “...Tiap-tiap warga negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan...”, menegaskan bahwa konstitusi mengamanatkan kepada negara Indonesia untuk ANTI PENGANGGURAN dan ANTI KEMISKINAN bagi seluruh warga negara Indonesia.
Artinya, praktek outsourching seiring dengan diterapkannya kebijakan Labor Market Flexibility (LMF), tidak terlindunginya Tenaga Kerja Indonesia/TKI yang bekerja di luar negri, anjloknya daya beli masyarakat seiring dengan mahalnya harga sembako dan pengebirian kesejahteraan kaum buruh dengan digodoknya Rancangan Peraturan Pemerintahan tentang Pesangon bahkan sampai rencana RUU Jaminan Sosial Pekerja menjadi bukti bahwasanya sudah saatnya kaum buruh Indonesia harus bersatu dan mengkonsolidasikan diri dengan gerakan rakyat lainnya untuk mewujudkan demokrasi rakyat yang sejati. Yakni, demokrasi yang tidak meletakan rakyat hanya sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, melainkan munculnya kritisisme massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Sehingga pemaknaan atas demokrasi mampu menjamin perjuangan kelas tertindas dan merumuskan tuntutannya dalam formasi-formasi sosial organisasi-organisasi perjuangan rakyat melalui penguatan basis produktifnya berdasar perkembangan mode produksi kapital yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga pada tahap selanjutannya, jika ini berlangsung secara permanen dan konsisten maka gerakan rakyat akan merumuskan dengan sendirinya formasi politik sebagai manifestasi dari upaya mempersepsikan kekuasaan bagi kepentingannya sendiri guna berdaulat di tanah airnya sendiri.
Pada prinsipnya, pembacaan dan sikap SBI terhadap putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan judicial review UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 dan munculnya Resolusi Bipartit Nasional antara Apindo dan Konfederasi Plat Kuning sampai rencana pemerintah untuk merevisi UU Jamsostek serta berbagai program neoliberalisme dalam sektor perburuhan (liberalisasi modal internasional, privatisasi, outsourching, capital flight dan upah rendah), telah menjadi bukti bahwasanya rezim hari ini masih berstatus semi kolonial. Sebab sekian regulasi perburuhan dan kebijakan perekonomian nasional masih percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya pada kekuatan modal internasional dengan sistem penjajahan gaya barunya.
Untuk itu, guna mencerdasi sekian konflik perburuhan yang terjadi dan segala tipu muslihat para penindas, Serikat Buruh Indonesia menyerukan kepada seluruh kekuatan gerakan buruh dan gerakan rakyat di Indonesia untuk tetap MERAPATKAN BARISAN dan MENOLAK TUNDUK kepada cengkraman Kapitalisme Internasional serta MENUNTUT TANGGUNG JAWAB Negara, dengan cara:
Kritik Oto Kritik (baca: evaluasi menyeluruh yang membangun) bangunan organisasi dan visi misi perjuangan gerakan buruh sebagai gerakan pembetulan guna penataan dan penguatan internal masing-masing serikat buruh menuju peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) sebagai ingatan kolektif atas kepeloporan perjuangan gerakan buruh yang demokratis, independen dan revolusioner.
Melakukan konferensi-konferensi rakyat (baca: Rapat Akbar) di setiap serikat buruh, pabrik-pabrik, kerumunan massa/publik dan di setiap elemen masyarakat, sebagai counter hegemoni kebijakan negara yang menindas dan Resolusi Bipartit nasional yang menindas kaum buruh Indonesia
Tetap setia menggalang konsolidasi dan perjuangan ekstraparlementer gerakan buruh seluas-luasnya guna menuju persatuan perjuangan bersama dengan gerakan rakyat lainnya (petani, nelayan, pemuda, mahasiswa, PKL, kaum miskin perkotaan, perempuan, dll) dengan tetap bersandar atas minimum program melawan segala bentuk penghisapan dan penindasan Neo Kolonialisme dan Imperialisme/Nekolim.
Maka, sebagai sikap Kepeloporan Pergerakan Buruh Nasional Menuju Persatuan Gerakan Rakyat Lawan Penjajahan Gaya Baru, Serikat Buruh Indonesia bersama semesta rakyat Indonesia tetap menuntut :
Tolak Resolusi Bipartit Nasional
Upah Layak Bagi Buruh
Hapuskan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourching,
Jaminan Nasional Bagi Buruh Oleh Buruh dan Untuk Buruh
Cabut Peraturan Ketenagakerjaan Yang Menindas (UU Serikat Pekerja, UU Ketenagekerjaan, UU PPHI, RPP Pesangon dan RUU Jamsostek)
Cabut UU Penanaman Modal No.25/2007
Lapangan Kerja dan Tanah Untuk Rakyat
Turunkan Harga Sembako
Wujudkan Demokrasi Rakyat Yang Sejati atau KAMI GOLPUT Pemilu 2009
KUASA RAKYAT PEKERJA HANCURKAN PENJAJAHAN GAYA BARU !!!!
SELAMATKAN REPUBLIK SELAMATKAN RAKYAT !!!!
BERPISAH KITA BERJUANG, BERSATU KITA MEMUKUL
Jakarta, 8 April 2008
Dikeluarkan Oleh:
Adi Rusprianto
Sekjend Nasional
SERIKAT BURUH INDONESIA (SBI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar