Derasnya arus globalisasi yang terjadi saat ini telah menimbulkan berbagai masalah pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai aspek sosial, budaya, politik , ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan tekhnologi, juga aspek hukum. Pada seluruh aspek tersebut, hukum harus berubah seiring berubahnya pola tingkah laku dalam masyarakat, dan perubahan tersebut harus diatur oleh hukum agar tercipta ketertiban dan kedamaian.
Proses penciptaan hukum dapat kita lihat pada dua sisi besar yaitu pada sisi keadilan dan pada sisi kepentingan. Dari sisi keadilan dipandang dari segi manusia sebagai mahluk social dimana manusia tinggal bersama dengan manusia yang lain, saling berhubungan dan membangun relasi sehingga memunculkan kesepakatan-kesepakatan yang membutuhkan suatu aturan didalamnya, didalam hubungan ini pihak yang dominan/ lebih kuat akan berpotensi untuk melakukan tindak sewenag-wenang terhadap pihak yang lebuh lemah. Sehingga perlunya peraturan dalam hal ini adalah guna menciptakan ruang yang adil bagi para pihak demi ketertiban dalam masyarakat. Sedang dari sisi kepentingan, penciptaan hukum dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenar untuk terciptanya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentinan tertentu, maka dari sisi ini hukum difungsikan sebagai alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh, atau dalam KUHP soviet rusia hukum didefinisikan suatu sistem hubungan-hubungan social yang mengabdi pada kepentingan–kepentingan dari kelas yang berkuasa dan dengan demikian didukung oleh organisasi kekuasaannya.
Di dalam konsep globalisasi dan juga agenda rezim dagang regional dan internasional, muncul strategi labour market flexibilization yang merupakan respons pengusaha terhadap tekanan pasar yang semakin bebas dan kuat persaingannya. Menurut para pembela globalisasi kapitalis, strategi ini juga akan menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja lebih luas dengan menciptakan sistem kerja paruh-waktu (part time jobs), memudahkan negosiasi antara buruh dan perusahaan yang lebih fleksibel menghadapi tuntutan pasar, meningkatkan harkat buruh dengan membiarkan mereka bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak ketiga seperti serikat buruh, memungkinkan adanya kepuasan kerja dengan menyesuaikan jenis dan beban pekerjaan dengan kemampuan buruh.
Namun, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi kerja dan kehidupan buruh dalam globalisasi justru semakin merosot, terutama di negara Dunia Ketiga. Strategi labour market flexibility itu jelas menguntungkan perusahaan semata-mata dan berbagai “keuntungan” bagi buruh yang disebutkan di atas, tidak pernah terjadi. Salah satu akibat dari pelonggaran hubungan kerja, yang menempatkan buruh dan posisi tawar yang sangat rendah, adalah mudahnya perusahaan melakukan pemecatan. Menaker Theo Sambuaga sementara itu memperkirakan bahwa jumlah pengangguran pada akhir tahun 1998 akan mencapai sekitar 13,4 juta orang. (Kompas,
Gelombang pemecatan massal itu menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat serius. hancurnya sistem kesejahteraan sosial, termasuk perlindungan dan keamanan kerja (job security). Buruh yang dipecat pun umumnya tidak bisa kembali ke desa, karena proses industrialisasi yang berlangsung sejak tahun 1970-an melakukan penjarahan terhadap tanah-tanah rakyat dan memperkecil kesempatan kerja di desa. Dengan kemampuan dan kapasitas yang terbatas buruh terpaksa menjual tenaga kerjanya di tempat lain. Mensos Justika Baharsjah misalnya menyebutkan sekitar 11.000 buruh perempuan yang dipecat semasa krisis terpaksa menjadi pekerja seks. (Pikiran Rakyat, 20 Juli 1998). Persaingan mencari kerja yang tinggi dan downsizing di semua sektor berakibat sulitnya mendapatkan pekerjaan kembali sebagai buruh industri.
Sementara itu kehidupan buruh yang masih dipertahankan juga tidak membaik. Justru kehidupan mereka semakin terancam karena strategi labour flexibilization dan mekanisme pasar bebas yang hanya melayani kepentingan perusahaan.
Kalau kita merujuk kepada sekian ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia terkait dengan perburuhan maka saat ini ada dua produk undang-undang yang mengatur tentang ketenaga kerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sebagai serangkaian ketentuan yang mengatur tentang tenaga kerja/ perburuhan mulai dari pra hubungan kerja hingga berakhirnya hubungan kerja. Dan Undang-Undang Nomo 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) sebagai hukum acara perburuhan yang menjadi acuan ketika muncul suatu perselisihan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan. Dan dilengkapi dengan sekian peraturan dibawahnya sebagai penjabaran dan petunjuk teknis dan pelaksanaanya.
“Kesejahteraan” adalah kunci dari suatu bangunan relasi kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, sebagai mana ditegaskan dalam UUD 1945 (Pasal 27 ayat 2) bahwa setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hukum kerja, ada ukuran atau batasan usia seorang tenaga kerja (manusia) itu dapat dikatakan produktif dan tidak produktif (Purna Kerja). Didalam UUK terdapat beberapa ketentuan yang justru kotradiktif dengan nilai dasar UUD 1945 , pengaturan tentang adanya pekerja waktu tertentu dan system kerja out shorsing pada substansinya adalah hendak menghilangkan tanggung jawab pengusaha atas jaminan penghidupan pekerja/buruh, karena dalam system tersebut pekerja/buruh tidak akan mendapatkan hak pesangon ataupun pensiun ketika hubungan kerjanya berakhir, dalam hal ini akan menjadi masalah ketika seorang pekerja/buruh tersebut sudat memasuki usia tidak produktif. Lantas siapa yang akan bertanggungjawab atas kelangsungan penghidupannya, hal ini akan terjawab ketika seorang pekerja/buruh dapat melakukan akumulasi atas hasil kerjanya (upah), akan tetapi dalam penetapan standarisasi atas upah minimum yang ditapkan dengan mengacu kepada Komponen Hidup Layak (KHL), dengan ukuran pekerja yang masih lajang maka dapat disimpulkan seorang pekerja hanya mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, lalu bagaimana ketika seorang pekerja tersebut memiliki tanggungan diluar dirinya (berkeluarga) “jawaban pastinya adalah buruh/pekerja tidak sejahtera”.
Dalam hal terjadi perselisihan acuan yang digunakan adalah UU PPHI, Penyelesaian perselisihan hubungan industrial menempatkan Pengadilan Hubungan Industrial menjadi bagian dari peradilan umum. Selain itu, digunakan pula hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 57 UU PPHI. Akan sangat memberatkan bagi pekerja/buruh dikarenakan keterbatasan pengetahuan tentang hukum acara perdata serta keterampilan buruh yang sangat minim dalam berproses di Pengadilan Hubungan Industrial sehingga membuat buruh tidak berdaya dalam menuntut haknya yang dilanggar oleh pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar