Jumat, 01 Februari 2008

UMP HANYA UNTUK PEKERJA 0 SAMPAI 1 TAHUN

Sesungguhnya Upah Minimum Propinsi (UMP) adalah jaring pengaman paling rendah bagi kehidupan para pekreja. Oleh karena itu UMP hanya berlaku bagi pekerja/buruh lajang dan untuk masa kerja 0 sampai 1 tahun, hal ini berlaku untuk pekera baik kontrak, harian lepas ataupun borongan. Oleh karena itu jika pekerja sudah bekerja lebih dari 1 tahun, maka upah yang di terima harusnya lebih dari UMP.

S
ulitnya mencari pekerjaan membuat seseorang terpaksa bekerja tidak sesuai dengan keahliannya atau pendidikannya. Bagi masyarakat kecil, yang terpenting adalah mendapatkan uang dengan cara halal. Seringkali cucuran keringatnya tak sebanding dengan upah yang didapat. Namun karena asap dapur harus mengepul, mereka pun harus bekerja, meski dengan upah dibawah kebutuhan hidup yang layak.
Untuk memperjuangkan upah yang layak bagi kehidupan pekerja dan keluarganya pekerja di DIY pada akhir tahun 2007 terus melakukan aksi tentang kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP). Hal ini di lakukan ribuan pekerja yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) yang dalam beberapa bulan yang lalu terus melakukan aksi menuntut kenaikan UMP tahun 2008. Dalam aksi tersebut ABY memuntut untuk adanya perubahan terhadap UMP hasil dari survey yang di lakukan Dewan Pengupahan DIY. Karena jelas bahwa UMP yang di tawarkan oleh Dewan Pengupahan tersebut jauh dari harapan para pekerja di Yogyakarta.
Tidak puas atas SK Gubernur DIJ No 171/2007 tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY 2008 sebesar Rp 586.000,- ratusan buruh yang tergabung dalam ABY berunjuk rasa. Mereka menuntut Gubernur dan Dewan Pengupahan DIY merevisi penetapan upah itu. Dalam menentukan upah minimum propinsi (UMP) harus megacu pada kebutuhan hidup layak (KHL). Hal ini sebagai jaring pengaman bagi semua pekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ternyata dalam kebijakan yang di ambil oleh pemerintah provinsi DIY sunguh kontraproduktif . Hal ini di buktikan dengan nilai UMP DIY yang hanya sebesar Rp 586.000.-.
Karena itu, Sekolah Buruh Yogyakarta (SBY) yang juga tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta meminta Dewan Pengupahan memberikan saran dan pertimbangan kepada gubernur tentang buruh dan juga dari sisi perusahaan. Dengan pertimbangan berbagai aspek, SBY mendesak agar UMP DIY 2008 segera ditetapkan dengan besaran 90% dari KHL atau 90% dari Rp 740.000,- yaitu sebesar Rp. 666.000,-.
Padahal penetapan UMP harus sesuai KHL sudah ada aturannya. Pasal 89 ayat 2 UU Ketenagakerjaan 13/2003 secara tegas menyebutkan, bahwa upah minimum diarahkan pada pencapaian kebutuhan hidup layak. UUD 1945 sebagai konstitusi RI pun menegaskan, pada Pasal 27 ayat 2 disebutkan, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Survei yang dilakukan Dewan Pengupahan DIY menemukan angka upah buruh semestinya sebesar Rp 656.070. Sedang dari survei ABY menemukan Rp 717.673,-. “yang kami sesalkan kenapa UMP tahun 2008 justru hanya Rp 586.000," ujar Sekjend ABY, Tigan Solin, SE, disela-sela kesibukannya. Sementara itu Moch. Yusuf, SH, selaku Ketua Sekolah Buruh Yogyakarta menyebutkan bahwa “ untuk UMP di Klaten dan Magelang saja sudah Rp. 607.000,- . Seharusnya Pemerintah mempertimbangkan upah minimum perbatasan, karena kota perbatasan nominal upah minimum rata-ratanya diatas Rp. 600.000,- , lalu kenapa UMP di Jogja masih dibawah Rp. 600.000,- ini jelas tidak berpihak pada wong cilik “ tandasnya.

Sebagian Pasal mengenai Pengupahan
dalam Undang-Undang RI No.13 Thn. 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a.upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Peran Serikat dalam perusahaan
Mengutip SK Gubernur tersebut, UMP merupakan upah bulanan terendah bagi para pekerja di DIY, yang terdiri upah pokok termasuk tunjangan tetap. UMP DIY berlaku bagi pekerja berstatus tetap, tidak tetap, harian lepas dan masa percobaan dan hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 tahun. Juga diatur bahwa bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih, maka peninjauan besarnya upah dilakukan melalui kesepakatan tertulis antara pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha secara Bipartit.
Maka, peran serikat dalam meningkatkan ataupun menaikkan UMP dengan melakukan negosiasi dengan pengusaha dapat di lakukan dengan baik. Serikat adalah alat untuk memperjuangkan hak-hak buruh/pekerja, mulai dari negosiasi tentang upah dan sampai tunjangan dan jaminan lainnya.
Paradigma upah rendah dijadikan landasan atas nama peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi di DIY. Alasan tersebut ternyata salah kaprah, karena tidak masuknya investor ke DIY lebih disebabkan oleh birokrasi dan adanya praktik ekonomi biaya tinggi. Karena pada dasarnya persoalan yang paling dikeluhkan pengusaha/investor terutama pada adanya: ketidakstabilan makro ekonomi; ketidakpastian kebijakan; korupsi pemerintah lokal dan pusat; pajak; biaya tinggi; tidak adanya kepastian hukum.
Padahal kalau pemerintah memiliki keberanian dalam menetapkan kebijakan pengupahan yang sesuai KHL, secara otomatis akan berdampak terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi riil di DIY. Karena dengan meningkatnya upah yang diterima oleh buruh akan mempengaruhi peningkatan daya beli masyarakat, dan seiring dengan daya beli masyarakat yang meningkat maka sektor-sektor ekonomi riil semakin bergairah. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan semakin mengalami peningkatan.[]

1 komentar:

Blog Watcher mengatakan...

DERITA KAUM BURUH



Melambung nya harga kebutuhan pokok menjelang ramadhan, membuat nasib buruh semakin kelimpungan. Gaji Rp.800.000-Rp.900.000 per bulan (rata-rata UMK Surabaya) hanya cukup untuk kebutuhan berbuka puasa dan makan sahur. Bayangkan bila buruh sudah berkeluarga dan memiliki anak, Untuk kebutuhan makan sehari-hari aja pas-pasan, belum lagi untuk kebutuhan anak, istri saat lebaran. Semua harga kebutuhan pokok naik hampir 50%, Betapa menderitanya nasib kaum buruh.

**********

Meminta kenaikan UMK pada saat-saat ini jelas suatu hal yang mustahil, berdemonstrasi, mogok kerja atau ngeluruk kantor dewan pasti hanya menimbulkan keributan tanpa hasil, atau bisa-bisa malah digebuki Satpol PP.

THR (Tunjangan Hari Raya) yang selama ini menjadi kado hiburan bagi buruh sengaja di kebiri pemerintah. UU No 14/1969 tentang pemberian THR telah di cabut oleh UU No 13/2003 yang tidak mengatur tentang pemberian THR. Undang-undang yang di buat sama sekali tidak memihak kepantingan kaum buruh. Atas dasar Undang-Undang inilah pengusaha selalu berkelit dalam pemberian THR.

Sedangkan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, lebih memihak kepentingan investor asing dan Bank Dunia. Landasan formal seluruh aturan perundangan ini memperlemah posisi tawar buruh di bidang upah, kepastian kerja tetap, tunjangan dan hak normatif, hilangnya kesempatan kerja, partisipasi demokratis Dewan Pengupahan, dan konflik hubungan industrial. Pada prinsipnya Undang-Undang ini merupakan kepanjangan dari kapitalisme (pengusaha).

Selain masalah gaji rendah, pemberian THR, Undang-Undang yang tidak memihak kepentingan kaum buruh, derita kaum buruh seakan bertambah lengkap kala dihadapan pada standar keselamatan kerja yg buruk. Dari data pada tahun 2001 hingga 2008, di Indonesia rata-rata terjadi 50.000 kecalakaan kerja pertahun. Dari data itu, 440 kecelakaan kerja terjadi tiap hari nya, 7 buruh tewas tiap 24jam, dan 43 lainnya cacat. Standar keselamatan kerja di Indonesia paling buruk di kawasan Asia Tenggara.

Tidak heran jika ada yang menyebut, kaum buruh hanyalah korban dosa terstuktur dari dari kapitalisme global.

“kesejahteraan kaum buruh Indonesia